Om Swastyastu,
Yang saya sucikan Jero Mangku,
Yang saya Hormati Bapak kepala Desa
Dan para hadirin
Memnjatkan puji syukur,,
Pada
kesempatan yang baik ini saya akan mencoba menyampaikan sebuah paparan yang
topiknya “TRI HITA KARANA. Ketertarikan saya untuk mengangkat topik ini tiada
lain berangkat dari sebuah renungan yang menghasilkan sebuah kekaguman atas
keadiluhungan konsep Tri Hita Karana
yang saat ini menjadi primadona dalam
konsep pembangunan bagi Hindu yang Mandara (aman, damai dan sejahtera).
Umat sedharma yang saya banggakan, telah banyak fenomena
kehidupan disisi kita saat ini dapat kita jadikan sebagai refleksi untuk
bangkit menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tujuan agama Hindu “ Moksartham
Jagadhita ya ca iti Dharma” hanya akan dapat terwujud apabila di hati umat telah mampu menciptakan keselarasan,
keharmonisan, serta keseimbangan dalam bergagai konteks kehidupannya. Konsep Tri Hita Karana yang mulai populer dan
menjadi ikon Hindu dalam menata sendi-sendi kehidupan masyarakatnya sejak beberapa
dasa warsa belakangan ini,sesungguhnya sudah ada sejak peradaban Hindu itu ada.
Pada zaman
Majapahit Tri Hita Karana merupakan
salah satu dari delapan belas rahasia sukses pemimpin besar Nusantara Gajah
Mada pada waktu itu. Gajah Mada memasukkan konsep ajaran Tri Hita Wacana yang harus diikuti oleh para pemimpin Majapahit
untuk mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Konsep Tri Hita Wacana yang dirumuskan oleh
Gajah Mada itu, kini lebih dikenal dengan ajaran Tri Hita Karana sebagai sebuah doktrin keselarasan, keserasian,
keharmonisan, dan keseimbangan dalam menata keajegan Hindu khususnya di Bali
(Suhardana, 2008 : 77).
Tri Hita Karana yang secara
etimologi terbentuk dari kata : tri
yang berarti tiga, hita berarti
kebahagiaan, dan karana yang berarti
sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis
yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1. Hubungan yang harmonis antara
manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
2. Hubungan yang harmonis antara
manusia dengan sesamanya, dan
3. Hubungan yang harmonis antara
manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya
ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam
kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3
unsur, yaitu : parahyangan, pawongan,
dan palemahan.
Parahyangan adalah
merupakan kiblat setiap manusia (baca : Hindu) untuk mendekatkan dirinya kepada
Sang Pencipta ( sangkan paraning dumadi )
yang dikonkretisasikan dalam bentuk tempat suci, pawongan merupakan pengejawantahan dari sebuah pengakuan yang tulus
dari manusia itu sendiri, bahwa manusia tak dapat hidup menyendiri tanpa
bersama-sama dengan manusia lainnya (sebagai makhluk sosial). Sedangkan palemahan adalah merupakan bentuk
kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, bahkan merupakan
bagian dari alam itu sendiri.
Para Dewan
Juri, hadirin umat sedharma, dan pemirsa yang berbahagia. Akhir-akhir ini telah
kita saksikan bersama berbagai macam fenomena dan kejadian alam serta sosial yang
sangat memprihatinkan kita semua. Umat manusia semakin menjauhkan diri dari
Sang Penciptanya, degradasi moral kian memuncak, dan kepedulian terhadap
lingkungannya sudah tergerus oleh keegoisan yang tak mengenal kompromi. Sudah
saatnya dan belum terlambat buat kita untuk memulai berbenah diri. Konsep yang
paling sederhana adalah marilah kita gali khazanah adiluhung yang telah
diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, serta mari kita representasikan ke
dalam bentuk tindakan nyata dengan tetap mengedepankan kepentingan bersama.
Mari kita duduk bersanding dengan kejernihan hati yang jauh dari rasa apriori
dan kemunafikan. A no bhadrah kratawo
yantu wiçwatah, semoga pikiran yang jernih dan bijak datang dari segala
penjuru.
Misalnya
Bali dengan popularitasnya di mata dunia, tidak semata karena keindahan
panoramanya akan tetapi lebih dari itu adalah karena taksu yang dimiliki Bali. Taksu
Bali yang kami maksudkan adalah terletak pada keutuhan konsep Tri Hita Karana dalam setiap gerak
perilaku masyarakat Balinya. Bali dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu
memberi kontribusi besar yang turut mendongkrak menjadikan nama Bali semakin
mendunia. Itu tiada lain karena konsep Tri
hita Karana dan masyarakat Balinya yang religius dijiwai oleh ajaran Weda
yang universal. Kita tidak menutup mata, bahwa masih banyak di belahan dunia
ini memiliki keindahan alam yang jauh lebih asri dari Bali, dan bahkan tidak
tertutup kemungkinannya telah mengadopsi serta mempraktekkan konsep Tri Hita Karana yang kita miliki. Timbul
kemudian pertanyaan, “ Kenapa mereka tetap masih di bawah performa Bali ?
Jawabannya adalah karena konsep Tri Hita
Karana yang diadopsi dan masyarakat pendukungnya tidak dijiwai oleh spirit
Weda.
Saudara-saudaraku
umat sedharma yang saya banggakan, kembali kepada tema pokok dan judul dharma
wacana kali ini, bahwasannya Tri Hita
Karana sebagai konsep keselarasan hidup masyarakat Bali (baca: Hindu)
memiliki spirit yang sangat kuat untuk mewujudkan HINDU yang siap dan tangguh
dalam menghadapi tatanan masyarakat dunia yang semakin keras dan kompleks. Oleh
karena itu mau tidak mau, rela tidak rela kita harus bersedia membuka diri
untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya luar dengan semangat paramartha (tujuan mulia) serta tetap
berlandaskan pada spirit dharma yang berstana dalam ajaran Weda. Saya yakin
dengan demikian, HINDU ke depan merupakan kiblat dunia yang tiada duanya.
Dalam
mengimplementasikan konsep Tri Hita
Karana yang dimaksud, sangat ditekankan bahwa ketiga unsurnya harus
diaplikasikan secara utuh dan terpadu. Unsur parahyangan, pawongan, dan
palemahan tidak ada yang menduduki porsi yang istimewa. Dia senantiasa
seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala
tindakan. Sebagai konsep keharmonisan HINDU, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang luar biasa dari
berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan
dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam
berbagai bentuk aktivitas yadnya
sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan
tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama,
kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk kepentingan
ritual, kesemuanya itu membuat decak kagum orang-orang di luar sana. Dalam
ranah pawongan, masyarakat Hindu
dengan konsep manyama-braya, paras-paros sarpanaya, salunglung
sabayantaka, dan Tat Twam Asi
yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah-
tamah. Lebih-lebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum Karma Phala membuat kita semakin
aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya sudah
tidak dapat diragukan lagi. Sebelumnya saya mempunyai sebuah pertanyaan,
“Adakah agama di dunia ini mempunyai hari raya yang terkait dengan lingkungan
?” Jawabnya adalah ‘tidak’ kecuali Hindu. Karena apabila agama lain ada upacara
untuk itu, berarti ia memperkuat kultus berhala, sementara ia sangat alergi
dengan hal-hal berhala. Bagaimana dengan Hindu ? Hindu bukan agama berhala,
walau ada hari raya Tumpek Pengarah
untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang
untuk segala macam ternak, Tumpek Landep
untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari
kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan
jagat raya, dan lain sebagainya. Karena substansi dari hari raya itu adalah
persembahan yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai rasa syukur atas
segala kemudahan yang dianugrahkan-Nya melalui media yang ada di alam semesta
ini, dengan diiringi oleh sebuah permohonan semoga di anugerahkan kelestarian
dan kemakmuran yang berkeseimbangan dan berkelanjutan.
Dalam
Bhagawadgita, II.10 diuraikan :
“Sahayajnah prajah srstva
Puro ‘vaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam
Esa vo’stv istakamadhuk”
“ Pada zaman
dahulu, Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati) menciptakan alam semesta dan segala
isinya dengan yadnya, serta bersabda:
Wahai makhluk hidup dengan yadnya ini
engkau akan berkembang dan peliharalah alam semesta ini menjadi sapi
perahanmu”.
Bhagwadgita,VII.22
menegaskan :
“Sa taya sraddhaya yuktas,
Tasya ‘radhanam ihata,
Labhata ca tatah kãmãm,
Mayai’va vihitãm hi tãn.
“Diberkahi
dengan kepercayaan itu dia mencari penyembahan pada itu dan dari itu pula dia
dapat apa yang dicita-citakannya dan hasil mana adalah pemberian dari AKU
sendiri.”
Pesan yang
dapat dipetik dari sloka tadi adalah: bahwa kita harus senantiasa eling dan
bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta jagat raya dengan segala
isinya, selanjutnya membina hubungan yang harmonis di antara sesama manusia dan
lingkungan sekitar. Maka dengan keyakinannya itu segala yang dicita-citakan
akan tercapai sebagai berkah dari Yang Mahakuasa.
Umat
sedharma dan pemirsa yang terkasih, dalam upaya menjaga keharmonisan alam
semesta ini umat Hindu senantiasa menjaga keselarasan antara sekala dan niskala baik secara vertikal dengan Sang Pencipta dan lingkungan
alamnya, maupun secara horizontal antar manusianya. Dengan demikian terciptalah
energi positif yang dapat memberikan aura dan nuansa magis-spiritual. Ditambah
lagi, dengan semakin eksisnya lembaga adat yang digerakkan atas konsep Tri Hita Karana menjadikan masayarakat
HINDU semakin harmoni dan mandara. Umat HINDU akan semakin siap menghadapi
segala tantangan pada era keterbukaan atau kesejagatan ini.
Umat
sedharma dan pemirsa yang saya banggakan, sesungguhnya masih banyak hal yang
ingin saya sampaikan pada forum ini akan tetapi mengingat terbatasnya waktu
yang diberikan maka dharmawacana pada kesempatan ini saya akhiri dengan
menghaturkan cakuping kara kalih, dan
tidak lupa mohon maaf atas segala kekurangan yang ada pada diri saya.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
DHARMA WACANA ; disampaikan saat
persembahyangan bersama Purnama 19 Januari 2011 oleh I Gede Bagus Weda Angga –
siswa kelas 1 SMA
Tidak ada komentar:
Write komentar