Jumat, 22 April 2016

“KEPANGGLUH “ SEBUAH CERITA CINTA KASIH DARI DUNIA TAK KASAT MATA

Kejadian berikut ini adalah peristiwa nyata yang terjadi dan melibatkan puluhan orang serta disaksikan oleh ratusan orang. Walaupun ada sedikit kendala dalam menerjemahkan istilah-istilah yang digunakan, tulisan ini mencoba menggambarkan fakta yang sebenarnya.
Peristiwa ini terjadi pada hari Buda Cemeng Klawu (10 Februari 2010) di Desa Taripa sebuah desa transmigrasi angkatan 1980 (Luwu Timur – Sulawesi Selatan). Hari itu adalah piodalan di Pura Penataran Ped di Desa Taripa, sehingga warga Bali Nusa pengepon (anggota) pura mengadakan persembahyangan piodalan pada sore hari dan akan tetap berlangsung selama tiga hari hingga acara nyimpen (menyimpan peralatan piodalan). Warga Bali Nusa di Desa Taripa berjumlah sekitar 150 kepala keluarga (KK), dan hanya sekitar 40 KK yang menjadi pengepon Pura Penataran Ped. Sedikitnya jumlah pengepon ini disebabkan oleh perselisihan antara warga Nusa Lembongan dengan warga Nusa Penida di awal pendirian pura pada tahun 1985. Perselisihan ini menyebabkan hampir seluruh warga Nusa Lembongan tidak mau menjadi pengepon pura. Namun, pada saat persembahyangan piodalan, sebagian warga Bali Nusa yang bukan pengepon juga datang ke pura.
Sebagai tambahan informasi bahwa Pura Penataran Ped ini merupakan perwakilan dari Pura Penataran Ped yang ada di Pulau Nusa Penida Bali atau istilah teknologinya adalah stasiun penerima (receiver). Dimana pemancar gelombang yaitu Pura Penataran Ped di Pulau Nusa Penida merupakan pura utama yang menjadi pusat ritual orang Bali Nusa. Adapun nama “Bali Nusa” digunakan untuk menyebut penduduk yang mendiami Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, yaitu pulau-pulau kecil yang terletak disebelah tenggara Pulau Bali, serta merupakan bagian wilayah pemerintahan Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali.
Biasanya di setiap piodalan Pura Penataran Ped di Desa Taripa, Susunan Ratu Gede Mecaling pasti mesolah yaitu diadakan acara menarikan simbolis keagungan Ratu Gede Nusa yang berbentuk tapel (baca:e seperti e pada kata telur, artinya topeng yang menutupi seluruh kepala) rangda menyeramkan. Kecuali untuk kali ini rencananya tidak mesolah, alasannya untuk menjaga wibawa Susunan Ratu Gede Mecaling. Hasil sangkep (rapat) pura menyatakan, walaupun selama ini selalu ada peserta persembahyangan yang kerauhan (kesurupan karena dirasuki ruh) saat susunan mesolah, tetapi jika setiap piodalan susunan mesolah, ditakutkan tidak ada lagi orang yang kerauhan yang berarti simbolis keagungan sudah tidak berwibawa. Jadi, mesolah untuk piodalan direncanakan selang satu kali mesolah dan satu kali tidak. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Beberapa saat sebelum persembahyangan berakhir, seorang ibu mendadak tersungkur, lalu bangkit dan berteriak histeris, “Susunan pang mesolah jani!” (harus menarikan susunan sekarang).
Masyarakat Bali Nusa yang mengerti hal seperti ini menyimpulkan bahwa ibu tersebut sedang kerauhan, maka pemangku (pendeta) segera memercik tirta. Biasanya setelah dipercikkan tirta, orang kerauhan pasti siuman. Tapi kali ini ceritanya lain. Sang ibu tetap berteriak, hingga memaksa beberapa warga mengangkatnya keluar jeroan (area persembahyangan) pura agar tidak mengganggu persembahyangan. Tetapi setelah ibu ini berada di jaba (area luar) pura, orang-orang yang kerauhan bertambah banyak hingga puluhan orang. Sampai akhirnya terjadi kerauhan massal atau dalam istilah Bali Nusa disebut kepangluh. Suatu kejadian yang menurut cerita orang-orang tua adalah kejadian yang biasa terjadi di masa lalu saat persembahyangan piodalan di pura-pura Bali Nusa. Berdasarkan keyakinan masyarakat Bali Nusa, mereka yang kerauhan beberapa diantaranya sesungguhnya sedang dirasuki ruh Betara (baca:betare) dari pura-pura Bali Nusa dan yang lainnya dirasuki oleh ruh Buta Kala yang menjadi pengiring kedatangan Betara.
Kejadian ini biasa? Ya. Jika ini terjadi di masa lalu. Namun, kali ini terjadi di era teknologi dimana mereka yang terlibat dan menyaksikan sebagian besar terbiasa menonton tayangan gosip televisi, bahkan hampir semua orang yang datang sembahyang ke pura membawa handphone sehingga saat sembahyang diselingi dengan meng-update status facebook. Mereka yang kerauhan sebagian besar adalah pelajar SMP, SMA, bahkan ada juga mahasiwa perguruan tinggi yang kebetulan pulang kampung. Orang yang kerauhan ini kebanyakan bukan pengepon pura yaitu warga Bali Nusa yang sembahyang ke Pura Penataran Ped hanya saat piodalan. Mereka yang kerauhan sebagian hanya menangis atau tertawa, tetapi ada beberapa diantaranya memerankan Betara dari pura-pura Pulau Nusa.
Dua orang diduga kerauhan Betara Pura Penataran Ped Bali. Salah satunya adalah gadis remaja kelas 2 SMP, ia berkarakter santun berkata dengan bahasa Bali bahkan bahasa Bali kuno, bahasa yang tidak sesuai untuk seorang anak yang lahir dan besar di Sulawesi. Ada juga anak yang diduga kerauhan Betara Bongol (betara tuli) yang menurut keyakinan masyarakat Bali Nusa juga bersemayam di Pura Penataran Ped Bali, ia ingin berbicara tetapi sama sekali tidak keluar suara layaknya orang bisu. Seorang anak perempuan lagi yang juga masih sekolah SMP diduga kerauhan Betara Sekar Kuning dari Pura Sekar Kuning yang juga ada di pulau Nusa Penida Bali. Dia bicara dengan santun kepada orang-orang layaknya seorang ratu kepada bawahannya, juga dalam bahasa ‘aneh’ walaupun sesekali bercampur bahasa keseharian (bahasa Indonesia).
Misalnya ‘Betara Sekar Kuning’ ini berkata, “Nire joh-joh dateng saking Sekar Kuning. Nire sedih, panjak nire ten bersatu” (Saya jauh-jauh datang dari sekar kuning. Saya sedih rakyat saya tidak bersatu)
Ada juga seorang bapak yang ikut kerauhan. Dia kerauhan sosok sentral dalam keyakinan Bali Nusa yaitu Ida Betara Ratu Gede Nusa. Karakternya cukup unik sehingga mudah dikenal oleh orang-orang tua yang sudah pernah menyaksikan kejadian serupa waktu masih tinggal di pulau nusa. Menurut cerita pengalaman di masa lalu, biasanya orang yang kerauhan Ratu Gede Nusa adalah orang yang bertubuh tinggi besar dengan karakter yang gagah dan cukup seram. Tetapi, sayangnya bapak yang kerauhan kali ini bertubuh kecil dan kurus, sehingga karakter berwibawanya seperti dipaksakan. Sesekali ia berjalan dengan langkah tegap kesana kemari, mendengus-dengus seperti nafas babi hutan, kemudian berteriak dengan garang.
Dia berkata dalam bahasa Bali Nusa, “Aleh onya hanak nusa pang kepura. Nusa gede, nusa lembongan, nusa ceningan pokokne hunya pang kepura. Yen ndok nyak eret doang!” (Cari semua orang Bali Nusa untuk datang kepura. Orang Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, intinya semua harus kepura. Seret saja kalau dia tidak mau!). ‘Ratu Gede Nusa’ melanjutkan, “Yen onden hunya hanak nusa ke pura, kula seng nyak mesolah” (Kalau belum berkumpul semua orang Bali Nusa, saya tidak mau menari).
Himbauan seperti ini dia ulang berkali-kali, hal yang sama juga diucapkan dengan bahasa campuran oleh anak-anak yang kerauhan Betara. Sehingga orang-orang yang tidak kerauhan berhamburan untuk mencari sanak keluarga yang masih di rumah. Malam itu di Desa Taripa yang biasanya sepi, mendadak riuh oleh suara motor menderu-deru kesana kemari mencari warga Nusa untuk diajak sembahyang ke Pura Penataran Ped. Antusias warga ini karena menurut kepercayaan dan kebiasaan di masa lalu bahwa jika permintaan orang kerauhan tidak dituruti, mereka yang kerauhan tidak akan siuman. Hal ini juga mengindikasikan sesungguhnya warga dapat mempercayai bahwa yang berbicara melalui tubuh mereka yang kerauhan adalah Betara dari Pura Bali Nusa yang merupakan pelindung penduduk Bali Nusa.
Hampir semua warga Bali Nusa termasuk yang bukan pengepon pura, datang ke Pura Penataran Ped. Sehingga pada malam itu area Pura Penataran Ped yang hanya 25 are, penuh oleh warga yang sudah berpakaian sembahyang lengkap. Sebagian mereka langsung menuju jeroan untuk sembahyang, sebagian lagi terhenyak menyaksikan tindakan orang-orang yang kerauhan.
‘Betara’ juga beberapa kali mengingatkan untuk memberikan banten segehan (sesajen untuk Buta Kala) di hadapan mereka, karena katanya para Buta Kala pengiring mereka membutuhkan persembahan tersebut. Berkali-kali juga mereka yang kerauhan bergantian mengeluh lelah. Katanya, “Nira lepeh!” (saya capek). Jika sudah demikian mereka minta istirahat duduk dan kadang siuman, tetapi hanya setengah sadar dan mereka diam termangu. Beberapa juga yang minta dipijat, “Pecikan batis nira!” (pijat kakiku). Sebagian warga menganggap perintah itu untuk menguji kepercayaan dan kesetiaan mereka kepada Betara. Beberapa pemangku juga dapat berkomunikasi dengan mereka yang kerauhan, termasuk menyampaikan pertanyaan dan argumentasi. Setelah hampir tengah malam dan sebagian besar warga Bali Nusa sudah hadir di pura, seorang pemangku melaporkan kepada yang kerauhan. Katanya dalam bahasa Bali Kuno yang kira-kira artinya, “Maaf Betara, sekarang warga Bali Nusa sudah berkumpul. Apa ada yang akan disampaikan ataukah sudah boleh mesolah?”
“Belum. Belum boleh mesolah. Karena ada 3 orang yang belum datang dan mereka adalah tameng-tameng yang menyebabkan perpecahan warga disini.” Jawab seorang siswa SMP juga dalam bahasa Bali Kuno, ia yang diduga kerauhan Betara Pura Penataran Ped. Penyampaian ini diikuti oleh kerauhan lain dan menyebutkan ketiga nama warga yang dimaksud. Para Pemangku yang mengetahui permasalahan dan menganggap ketiga orang itu tidak akan datang, berusaha menyampaikan alasan bahwa ketiganya sedang sakit dan berobat keluar jadi tidak bisa hadir.
Tepat tengah malam, Susunan Ratu Gede Nusa mesolah. Saat mesolah jumlah mereka yang kerauhan berlipat. Walaupun demikian, puluhan orang itu hanya menari dengan gembira sepanjang acara mesolah yaitu sekitar 1 jam lamanya. Setelah mesolah berakhir, sebagian besar yang kerauhan siuman, kecuali mereka yang memerankan Betara semuanya tetap begadang sampai pagi. Kadang mereka siuman sesaat, tetapi kemudian lanjut lagi kerauhannya dengan menyampaikan berbagai nasehat mengenai pentingnya persaudaraan, persatuan dan perintah tentang kewajiban-kewajiban warga Bali Nusa di Desa taripa. Contoh kewajiban yang dimaksud adalah warga Bali Nusa wajib memberikan sesajen di beberapa tempat di area pekarangan rumah setelah selesai memasak, karena menurut ‘Betara’ para Buta Kala membutuhkannya.
Setelah persembahyangan pagi hari, semua kerauhan siuman. Tetapi, beberapa diantaranya kembali kerauhan saat melakukan aktifitas kesehariannya. Seorang siswa SMP kerauhan saat mengikuti pelajaran di sekolah sehingga terpaksa diantar ke pura oleh guru dan orang tua. Ada juga yang kerauhan saat menonton televisi di rumah, serta ada yang kerauhan saat bermain dengan teman-temannya. Hal demikian terjadi selama 3 hari setelah piodalan, hingga terakhir saat acara nyimpen.
Kejadian ini mengubah suasana desa menjadi lebih religius. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya warga Bali Nusa yang masuk menjadi pengepon Pura Penataran Ped. Selain itu, kegiatan persembahyang purnama dan tilem juga diikuti warga Hindu dengan antusias, baik di Pura Desa ataupun di Pura Penataran Ped.
Sedangkan pemahaman warga Bali Nusa di Desa Taripa setelah kejadian ini cukup beragam. Ada yang merasa takut dan ngeri, tetapi tidak sedikit yang terharu bahagia karena merasa Ida Betara Nusa tetap memperhatikan mereka yang jauh di tanah rantau. Disisi lain warga Bali Nusa yang memiliki pemahaman mendalam justru merasa sedih atas kejadian ini. Sedih menyaksikan anak-anak yang kerauhan yang mungkin terganggu perkembangannya secara psikologi, juga sedih merasakan betapa berat perjuangan Ida Betara untuk menyampaikan pesan cintanya kepada mereka. Jika dimasa lalu Betara mudah untuk berkomunikasi dengan manusia, namun berbeda dengan saat ini. Hal ini terlihat dari betapa susah Betara mencari tubuh yang memenuhi syarat untuk dapat dirasuki dan dijadikan sarana komunikasi dengan manusia. Sehingga Betara terpaksa merasuki anak-anak bahkan gadis remaja yang hal demikian itu tidak pernah terjadi di masa lalu.
Pikiran manusia sekarang dipenuhi oleh berbagai masalah, baik masalah sendiri ataupun masalah orang lain yang mempengaruhi melalui tayangan televisi. Hal ini membuat manusia menjadi semakin jauh dengan Betara. Perjuangan Betara bertambah sulit lagi, ketika ada hujatan dari rakyatnya sendiri yang mengatakan semua pesan cintanya itu bukan dari Betara melainkan hasutan setan. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa “setan” hanyalah nama yang biasanya digunakan untuk dijadikan ‘kambing hitam’ kejahatan manusia. Serta perlu diperhatikan bahwa pengertian tentang “Betara” dan “Buta Kala” disini tidak dapat disejajarkan dengan pengertian “Malaikat” dan “Setan” apalagi disandingkan dengan pengertian tentang “Jin” dan “Iblis”. Karena dalam kepercayaan tentang Betara dan Buta Kala, kita dapat melihat adanya cinta kasih antar sesama mahluk Tuhan.
Semoga pemaparan ini menambah informasi tentang ajaran Hindu, kebudayaan Bali dan khususnya keyakinan masyarakat Bali Nusa. Tulisan ini diuraikan berdasarkan kejadian sesungguhnya yang dijelaskan oleh pemuka masyarakat Bali Nusa di Desa Taripa dan dari kesaksian beberapa sahabat yang melihat langsung. Sedangkan untuk penjelasan dan pembahasan terhadap peristiwa yang terjadi baik yang sekarang ataupun perbandingan dengan kejadian di masa lalu di Pulau Nusa, sebagian besar bersumber dari uraian Bapak I Wayan Suratha, seorang warga Bali Nusa yang bertugas nyolahin (menarikan) tapel Susunan Ratu Gede Nusa di Pura Penataran Ped Desa Taripa.
(Penulis adalah administrator website Hindu BanjarSorowako.com dan saat ini bekerja sebagai guru komputer di SD YPS Lawewu, Sorowako, Luwu Timur, Sul-Sel)

Tidak ada komentar:
Write komentar

WANA DREAM

Wana Videos