Kejadian berikut ini adalah peristiwa nyata yang terjadi dan
melibatkan puluhan orang serta disaksikan oleh ratusan orang. Walaupun
ada sedikit kendala dalam menerjemahkan istilah-istilah yang digunakan,
tulisan ini mencoba menggambarkan fakta yang sebenarnya.
Peristiwa ini terjadi pada hari Buda Cemeng Klawu (10 Februari 2010)
di Desa Taripa sebuah desa transmigrasi angkatan 1980 (Luwu Timur –
Sulawesi Selatan). Hari itu adalah piodalan di Pura Penataran Ped di
Desa Taripa, sehingga warga Bali Nusa pengepon (anggota) pura mengadakan
persembahyangan piodalan pada sore hari dan akan tetap berlangsung
selama tiga hari hingga acara nyimpen (menyimpan peralatan piodalan).
Warga Bali Nusa di Desa Taripa berjumlah sekitar 150 kepala keluarga
(KK), dan hanya sekitar 40 KK yang menjadi pengepon Pura Penataran Ped.
Sedikitnya jumlah pengepon ini disebabkan oleh perselisihan antara warga
Nusa Lembongan dengan warga Nusa Penida di awal pendirian pura pada
tahun 1985. Perselisihan ini menyebabkan hampir seluruh warga Nusa
Lembongan tidak mau menjadi pengepon pura. Namun, pada saat
persembahyangan piodalan, sebagian warga Bali Nusa yang bukan pengepon
juga datang ke pura.
Sebagai tambahan informasi bahwa Pura Penataran Ped ini merupakan
perwakilan dari Pura Penataran Ped yang ada di Pulau Nusa Penida Bali
atau istilah teknologinya adalah stasiun penerima (receiver). Dimana
pemancar gelombang yaitu Pura Penataran Ped di Pulau Nusa Penida
merupakan pura utama yang menjadi pusat ritual orang Bali Nusa. Adapun
nama “Bali Nusa” digunakan untuk menyebut penduduk yang mendiami Pulau
Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, yaitu pulau-pulau kecil
yang terletak disebelah tenggara Pulau Bali, serta merupakan bagian
wilayah pemerintahan Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali.
Biasanya di setiap piodalan Pura Penataran Ped di Desa Taripa,
Susunan Ratu Gede Mecaling pasti mesolah yaitu diadakan acara menarikan
simbolis keagungan Ratu Gede Nusa yang berbentuk tapel (baca:e seperti e
pada kata telur, artinya topeng yang menutupi seluruh kepala) rangda
menyeramkan. Kecuali untuk kali ini rencananya tidak mesolah, alasannya
untuk menjaga wibawa Susunan Ratu Gede Mecaling. Hasil sangkep (rapat)
pura menyatakan, walaupun selama ini selalu ada peserta persembahyangan
yang kerauhan (kesurupan karena dirasuki ruh) saat susunan mesolah,
tetapi jika setiap piodalan susunan mesolah, ditakutkan tidak ada lagi
orang yang kerauhan yang berarti simbolis keagungan sudah tidak
berwibawa. Jadi, mesolah untuk piodalan direncanakan selang satu kali
mesolah dan satu kali tidak. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Beberapa saat sebelum persembahyangan berakhir, seorang ibu mendadak
tersungkur, lalu bangkit dan berteriak histeris, “Susunan pang mesolah
jani!” (harus menarikan susunan sekarang).
Masyarakat Bali Nusa yang mengerti hal
seperti ini menyimpulkan bahwa ibu tersebut sedang kerauhan, maka
pemangku (pendeta) segera memercik tirta. Biasanya setelah dipercikkan
tirta, orang kerauhan pasti siuman. Tapi kali ini ceritanya lain. Sang
ibu tetap berteriak, hingga memaksa beberapa warga mengangkatnya keluar
jeroan (area persembahyangan) pura agar tidak mengganggu
persembahyangan. Tetapi setelah ibu ini berada di jaba (area luar) pura,
orang-orang yang kerauhan bertambah banyak hingga puluhan orang. Sampai
akhirnya terjadi kerauhan massal atau dalam istilah Bali Nusa disebut
kepangluh. Suatu kejadian yang menurut cerita orang-orang tua adalah
kejadian yang biasa terjadi di masa lalu saat persembahyangan piodalan
di pura-pura Bali Nusa. Berdasarkan keyakinan masyarakat Bali Nusa,
mereka yang kerauhan beberapa diantaranya sesungguhnya sedang dirasuki
ruh Betara (baca:betare) dari pura-pura Bali Nusa dan yang lainnya
dirasuki oleh ruh Buta Kala yang menjadi pengiring kedatangan Betara.
Kejadian ini biasa? Ya. Jika ini terjadi di masa lalu. Namun, kali
ini terjadi di era teknologi dimana mereka yang terlibat dan menyaksikan
sebagian besar terbiasa menonton tayangan gosip televisi, bahkan hampir
semua orang yang datang sembahyang ke pura membawa handphone sehingga
saat sembahyang diselingi dengan meng-update status facebook. Mereka
yang kerauhan sebagian besar adalah pelajar SMP, SMA, bahkan ada juga
mahasiwa perguruan tinggi yang kebetulan pulang kampung. Orang yang
kerauhan ini kebanyakan bukan pengepon pura yaitu warga Bali Nusa yang
sembahyang ke Pura Penataran Ped hanya saat piodalan. Mereka yang
kerauhan sebagian hanya menangis atau tertawa, tetapi ada beberapa
diantaranya memerankan Betara dari pura-pura Pulau Nusa.
Dua orang diduga kerauhan Betara Pura Penataran Ped Bali. Salah
satunya adalah gadis remaja kelas 2 SMP, ia berkarakter santun berkata
dengan bahasa Bali bahkan bahasa Bali kuno, bahasa yang tidak sesuai
untuk seorang anak yang lahir dan besar di Sulawesi. Ada juga anak yang
diduga kerauhan Betara Bongol (betara tuli) yang menurut keyakinan
masyarakat Bali Nusa juga bersemayam di Pura Penataran Ped Bali, ia
ingin berbicara tetapi sama sekali tidak keluar suara layaknya orang
bisu. Seorang anak perempuan lagi yang juga masih sekolah SMP diduga
kerauhan Betara Sekar Kuning dari Pura Sekar Kuning yang juga ada di
pulau Nusa Penida Bali. Dia bicara dengan santun kepada orang-orang
layaknya seorang ratu kepada bawahannya, juga dalam bahasa ‘aneh’
walaupun sesekali bercampur bahasa keseharian (bahasa Indonesia).
Misalnya ‘Betara Sekar Kuning’ ini berkata, “Nire joh-joh dateng
saking Sekar Kuning. Nire sedih, panjak nire ten bersatu” (Saya
jauh-jauh datang dari sekar kuning. Saya sedih rakyat saya tidak
bersatu)
Ada juga seorang bapak yang ikut kerauhan. Dia kerauhan sosok sentral
dalam keyakinan Bali Nusa yaitu Ida Betara Ratu Gede Nusa. Karakternya
cukup unik sehingga mudah dikenal oleh orang-orang tua yang sudah pernah
menyaksikan kejadian serupa waktu masih tinggal di pulau nusa. Menurut
cerita pengalaman di masa lalu, biasanya orang yang kerauhan Ratu Gede
Nusa adalah orang yang bertubuh tinggi besar dengan karakter yang gagah
dan cukup seram. Tetapi, sayangnya bapak yang kerauhan kali ini bertubuh
kecil dan kurus, sehingga karakter berwibawanya seperti dipaksakan.
Sesekali ia berjalan dengan langkah tegap kesana kemari,
mendengus-dengus seperti nafas babi hutan, kemudian berteriak dengan
garang.
Dia berkata dalam bahasa Bali Nusa, “Aleh onya hanak nusa pang
kepura. Nusa gede, nusa lembongan, nusa ceningan pokokne hunya pang
kepura. Yen ndok nyak eret doang!” (Cari semua orang Bali Nusa untuk
datang kepura. Orang Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, intinya
semua harus kepura. Seret saja kalau dia tidak mau!). ‘Ratu Gede Nusa’
melanjutkan, “Yen onden hunya hanak nusa ke pura, kula seng nyak
mesolah” (Kalau belum berkumpul semua orang Bali Nusa, saya tidak mau
menari).
Himbauan seperti ini dia ulang berkali-kali, hal yang sama juga
diucapkan dengan bahasa campuran oleh anak-anak yang kerauhan Betara.
Sehingga orang-orang yang tidak kerauhan berhamburan untuk mencari sanak
keluarga yang masih di rumah. Malam itu di Desa Taripa yang biasanya
sepi, mendadak riuh oleh suara motor menderu-deru kesana kemari mencari
warga Nusa untuk diajak sembahyang ke Pura Penataran Ped. Antusias warga
ini karena menurut kepercayaan dan kebiasaan di masa lalu bahwa jika
permintaan orang kerauhan tidak dituruti, mereka yang kerauhan tidak
akan siuman. Hal ini juga mengindikasikan sesungguhnya warga dapat
mempercayai bahwa yang berbicara melalui tubuh mereka yang kerauhan
adalah Betara dari Pura Bali Nusa yang merupakan pelindung penduduk Bali
Nusa.
Hampir semua warga Bali Nusa termasuk yang bukan pengepon pura,
datang ke Pura Penataran Ped. Sehingga pada malam itu area Pura
Penataran Ped yang hanya 25 are, penuh oleh warga yang sudah berpakaian
sembahyang lengkap. Sebagian mereka langsung menuju jeroan untuk
sembahyang, sebagian lagi terhenyak menyaksikan tindakan orang-orang
yang kerauhan.
‘Betara’ juga beberapa kali mengingatkan untuk memberikan banten
segehan (sesajen untuk Buta Kala) di hadapan mereka, karena katanya para
Buta Kala pengiring mereka membutuhkan persembahan tersebut.
Berkali-kali juga mereka yang kerauhan bergantian mengeluh lelah.
Katanya, “Nira lepeh!” (saya capek). Jika sudah demikian mereka minta
istirahat duduk dan kadang siuman, tetapi hanya setengah sadar dan
mereka diam termangu. Beberapa juga yang minta dipijat, “Pecikan batis
nira!” (pijat kakiku). Sebagian warga menganggap perintah itu untuk
menguji kepercayaan dan kesetiaan mereka kepada Betara. Beberapa
pemangku juga dapat berkomunikasi dengan mereka yang kerauhan, termasuk
menyampaikan pertanyaan dan argumentasi. Setelah hampir tengah malam dan
sebagian besar warga Bali Nusa sudah hadir di pura, seorang pemangku
melaporkan kepada yang kerauhan. Katanya dalam bahasa Bali Kuno yang
kira-kira artinya, “Maaf Betara, sekarang warga Bali Nusa sudah
berkumpul. Apa ada yang akan disampaikan ataukah sudah boleh mesolah?”
“Belum. Belum boleh mesolah. Karena ada 3 orang yang belum datang dan
mereka adalah tameng-tameng yang menyebabkan perpecahan warga disini.”
Jawab seorang siswa SMP juga dalam bahasa Bali Kuno, ia yang diduga
kerauhan Betara Pura Penataran Ped. Penyampaian ini diikuti oleh
kerauhan lain dan menyebutkan ketiga nama warga yang dimaksud. Para
Pemangku yang mengetahui permasalahan dan menganggap ketiga orang itu
tidak akan datang, berusaha menyampaikan alasan bahwa ketiganya sedang
sakit dan berobat keluar jadi tidak bisa hadir.
Tepat tengah malam, Susunan Ratu Gede Nusa mesolah. Saat mesolah
jumlah mereka yang kerauhan berlipat. Walaupun demikian, puluhan orang
itu hanya menari dengan gembira sepanjang acara mesolah yaitu sekitar 1
jam lamanya. Setelah mesolah berakhir, sebagian besar yang kerauhan
siuman, kecuali mereka yang memerankan Betara semuanya tetap begadang
sampai pagi. Kadang mereka siuman sesaat, tetapi kemudian lanjut lagi
kerauhannya dengan menyampaikan berbagai nasehat mengenai pentingnya
persaudaraan, persatuan dan perintah tentang kewajiban-kewajiban warga
Bali Nusa di Desa taripa. Contoh kewajiban yang dimaksud adalah warga
Bali Nusa wajib memberikan sesajen di beberapa tempat di area pekarangan
rumah setelah selesai memasak, karena menurut ‘Betara’ para Buta Kala
membutuhkannya.
Setelah persembahyangan pagi hari, semua kerauhan siuman. Tetapi,
beberapa diantaranya kembali kerauhan saat melakukan aktifitas
kesehariannya. Seorang siswa SMP kerauhan saat mengikuti pelajaran di
sekolah sehingga terpaksa diantar ke pura oleh guru dan orang tua. Ada
juga yang kerauhan saat menonton televisi di rumah, serta ada yang
kerauhan saat bermain dengan teman-temannya. Hal demikian terjadi selama
3 hari setelah piodalan, hingga terakhir saat acara nyimpen.
Kejadian ini mengubah suasana desa menjadi lebih religius. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya warga Bali Nusa yang masuk menjadi pengepon
Pura Penataran Ped. Selain itu, kegiatan persembahyang purnama dan
tilem juga diikuti warga Hindu dengan antusias, baik di Pura Desa
ataupun di Pura Penataran Ped.
Sedangkan pemahaman warga Bali Nusa di Desa Taripa setelah kejadian
ini cukup beragam. Ada yang merasa takut dan ngeri, tetapi tidak sedikit
yang terharu bahagia karena merasa Ida Betara Nusa tetap memperhatikan
mereka yang jauh di tanah rantau. Disisi lain warga Bali Nusa yang
memiliki pemahaman mendalam justru merasa sedih atas kejadian ini. Sedih
menyaksikan anak-anak yang kerauhan yang mungkin terganggu
perkembangannya secara psikologi, juga sedih merasakan betapa berat
perjuangan Ida Betara untuk menyampaikan pesan cintanya kepada mereka.
Jika dimasa lalu Betara mudah untuk berkomunikasi dengan manusia, namun
berbeda dengan saat ini. Hal ini terlihat dari betapa susah Betara
mencari tubuh yang memenuhi syarat untuk dapat dirasuki dan dijadikan
sarana komunikasi dengan manusia. Sehingga Betara terpaksa merasuki
anak-anak bahkan gadis remaja yang hal demikian itu tidak pernah terjadi
di masa lalu.
Pikiran manusia sekarang dipenuhi oleh berbagai masalah, baik masalah
sendiri ataupun masalah orang lain yang mempengaruhi melalui tayangan
televisi. Hal ini membuat manusia menjadi semakin jauh dengan Betara.
Perjuangan Betara bertambah sulit lagi, ketika ada hujatan dari
rakyatnya sendiri yang mengatakan semua pesan cintanya itu bukan dari
Betara melainkan hasutan setan. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa
“setan” hanyalah nama yang biasanya digunakan untuk dijadikan ‘kambing
hitam’ kejahatan manusia. Serta perlu diperhatikan bahwa pengertian
tentang “Betara” dan “Buta Kala” disini tidak dapat disejajarkan dengan
pengertian “Malaikat” dan “Setan” apalagi disandingkan dengan pengertian
tentang “Jin” dan “Iblis”. Karena dalam kepercayaan tentang Betara dan
Buta Kala, kita dapat melihat adanya cinta kasih antar sesama mahluk
Tuhan.
Semoga pemaparan ini menambah informasi tentang ajaran Hindu,
kebudayaan Bali dan khususnya keyakinan masyarakat Bali Nusa. Tulisan
ini diuraikan berdasarkan kejadian sesungguhnya yang dijelaskan oleh
pemuka masyarakat Bali Nusa di Desa Taripa dan dari kesaksian beberapa
sahabat yang melihat langsung. Sedangkan untuk penjelasan dan pembahasan
terhadap peristiwa yang terjadi baik yang sekarang ataupun perbandingan
dengan kejadian di masa lalu di Pulau Nusa, sebagian besar bersumber
dari uraian Bapak I Wayan Suratha, seorang warga Bali Nusa yang bertugas
nyolahin (menarikan) tapel Susunan Ratu Gede Nusa di Pura Penataran Ped
Desa Taripa.
(Penulis adalah administrator website Hindu BanjarSorowako.com dan saat ini bekerja sebagai guru komputer di SD YPS Lawewu, Sorowako, Luwu Timur, Sul-Sel)
Jumat, 22 April 2016
“KEPANGGLUH “ SEBUAH CERITA CINTA KASIH DARI DUNIA TAK KASAT MATA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Write komentar