Menakuti kematian secara berlebihan, itulah salah satu tanda manusia yang belum tersembuhkan secara spiritual. Padahal, kematian serupa tali di ruang gelap. Karena gelap (belum tercerahkan) maka ketakutan akan ular (kematian) muncul, namun begitu cahaya dihidupkan, ketakutannya menghilang.
Tuhan sebagai Hukum
Di India pernah ada Guru yang dimintai tolong pemuda agar roh orang tuanya yang meninggal bisa bergerak naik. Dengan tersenyum Guru ini meminta pemuda tadi mengambil batu dan mentega kemudian meletakkannya di kolam. Tentu saja batunya tenggelam, menteganya mengambang di permukaan. Demikian juga dengan manusia setelah kematian. Jika yang bersangkutan berat dengan kemelekatan (harta, kekuasaan, keluarga, rasa bersalah), maka ia bergerak turun ke alam binatang, setan, neraka. Tapi bila ia ringan tanpa kemelekatan apa-apa ketika kematian, ia senantiasa di atas.
Semua ini menyisakan pesan, ada hukum yang bekerja di alam. Ia yang bisa mengenali hukum ini, membadankannya dalam keseharian, terutama tatkala kematian, maka bisa terbebaskan. Ini yang oleh sejumlah sabahat di Barat disebut sebagai God as a law(Tuhan sebagai sebuah hukum).
Permata Tubuh Manusia
Dengan meminta maaf pada para dewa, tubuh manusia adalah tubuh ideal untuk praktek spiritual. Terutama karena alam neraka, setan, binatang terlalu berat dengan penderitaan dan kebodohan. Sebaliknya alam dewa dan setengah dewa berisi terlalu banyak suka cita. Dan sebagaimana hakekat suka cita mudah lupa dengan praktek spiritual.
Dan dalam tubuh manusialah suka dan duka itu seimbang. Makanya tetua Bali menyebut manusia dewa ya kala ya. Dengan tubuh manusia ini kehidupan bisa bergerak ke bawah (kala), atau ke atas (dewa). Tapi ada pilihan ketiga, kita bisa mengalami pembebasan. Terutama karena pembebasan dekat sekali dengan keadaan seimbang sempurna, kemudian melampaui segala dualitas, termasuk dualitas lahir-mati. Di Bali Utara diberi nama Pura Penimbangan.
Makanya banyak guru mengajarkan, terlahir sebagai manusia tetapi tidak melakukan praktek spiritual, serupa dengan datang ke pulau penuh permata, tetapi ketika pulang ke rumah kematian sepasang tangannya kosong tidak membawa apa-apa. Yang celaka, tidak saja gagal membawa permata, tetapi melakukan kesalahan berbahaya (membunuh, menyakiti, mencuri dll) ketika mengenakan tubuh manusia, sehingga setelah kematian harus membayar dengan terlahir di alam neraka, setan, binatang.
Kebebasan saat Kematian
Di Tantra disimpan sejumlah ajaran rahasia yang memungkinkan manusia mengalami pembebasan di waktu kematian. Ini mirip dengan pesan Krishna ke Arjuna di Bhagavad Gita: “pikiran terakhir saat kematian, itulah yang amat menentukan perjalanan kemudian”. Ada sejumlah cara yang memungkinkan manusia terbebaskan di waktu kematian. Ada mati secara Dharmakaya, mati secara Sambhogakaya, mati secara Nirmanakaya, ada pembebasan dengan mendengarkan dan masih ada lagi yang lain. Cuman, karena sifat Tantra yang rahasia, tidak banyak yang bisa diungkapkan ke publik. Ia hanya boleh dibuka rahasianya ke murid-murid dengan kualitas bakti yang mengagumkan.
Untuk konsumsi publik, mati secara Nirmanakaya layak direnungkan. Dalam pendekatan ini, kematian menjadi saat persembahan yang paling menentukan. Ini cocok dengan orang Bali, karena baik dalam suka maupun duka orang Bali mencari perlindungan dalam persembahan. Tubuh, kata-kata, perbuatan, kekayaan (material dan spiritual) semuanya dipersembahkan. Idealnya, seseorang memiliki tubuh, kata-kata, perbuatan, serta kekayaan yang bersih dan jernih. Sehingga momen kematian menjadi momen persembahan yang sempurna. Ia seperti memberikan sesuatu yang suci dari sisi murid, sekaligus sesuatu yang indah dari segi Guru. Pertemuan antara perasaan suci di sisi penyembah, dengan aroma indah di sisi Guru, kemudian menjadi titik pembebasan yang menawan. Itu sebabnya, sedari awal penting sekali memiliki tubuh, kata-kata, pikiran dan kekayaan yang bersih dari segi niat, bersih dalam proses mencari, serta bersih dalam menggunakannya.
Sayangnya sangat sedikit manusia di zaman kali (gelap) yang bisa menjumpai kondisi ini. Kebanyakan manusia memiliki tubuh, kata-kata, pikiran dan kekayaan yang kotor. Akibatnya, di waktu kematian dikejar oleh rasa bersalah mendalam. Sehingga tidak sempat melakukan persembahan, lupa memikirkan Guru, manusia jenis ini sangat berat menggendong rasa bersalah. Keadaanya mirip dengan kambing yang menggendong beban kuda. Sesungguhnya sangat menyedihkan mati seperti ini, karena perjalanan bergerak dari pulau permata bernama tubuh manusia kemudian turun ke alam miskin secara spiritual bernama neraka, setan, binatang.
Menyadari waktu hidup manusia yang semakin pendek, sekaligus semakin banyaknya faktor yang membuat manusia cepat mati - dari kecelakaan, kriminalitas sampai penyakit yang tidak ada obatnya - maka tidak ada pilihan lain, cepat mencari Guru, belajar spiritualitas mendalam, lakukan bakti mendalam sampai bisa melihat cahaya yang tersembunyi di balik Guru.
Di Tibet pernah terjadi seorang anak muda dihinggapi rasa takut mendalam akan kematian, kemudian menjumpai Guru Tantra Padmashambawa. Setelah mencium kaki Guru, menyembah, kemudian Gurunya berpesan: “Mulai sekarang lupakan namamu, lupakan orang tuamu, lupakan desa tempat lahirmu. Ingat hanya satu, melaksanakan kasih sayang”. Dan anak muda ini mengalami pembebasan lima tahun kemudian.
Penjelasannya sederhana, kasih sayang membuat seseorang memperkecil egonya dari hari ke hari. Tatkala keakuan terkikis habis, batin jadi ringan. Kematian indah terjadi tatkala batin yang ringan berjumpa dengan persembahan menawan di waktu kematian.
Di Jepang pernah ada Guru yang cermat sekali membimbing muridnya yang tua agar matinya indah. Setiap kali meninggalkan sebuah tempat - misalnya ruang makan - renungkan dalam-dalam kalau baru saja mati di ruang makan, terlahir di taman. Begitu selesai menyapu taman, renungkan dalam-dalam mati di taman, terlahir di ruang keluarga. Dan murid ini juga mengalami kematian menawan, terutama karena batin yang ringan berjumpa persembahan menawan. Inilah mati Parama Shanti.
Bila keadaan indah ini terlalu sulit, segera persiapkan agar di kehidupan berikutnya bisa melakukan praktek spiritual mendalam. Pertama, berusaha agar lahir sebagai manusia dengan belajar seawal mungkin berperilaku sebagai manusia utama. Kedua, terlahir di keluarga yang berkecukupan agar waktu tidak habis mencari makan, terutama dengan banyak memberi. Ketiga, lahir di keluarga berkecukupan yang menghargai moralitas. Ini bisa dilakukan dengan memurnikan pikiran, kata-kata dan perbuatan setiap hari. Keempat, terlahir di waktu dan tempat di mana ada Dharma (ajaran spiritual) khususnya dengan menunjukkan rasa hormat pada ajaran-ajaran suci. Terakhir, berdoa agar berjumpa Guru. Ini bisa dilakukan dengan menghormati semua perwujudan Guru. Makanya di Tantra disebutkan, Guru adalah sumber pencapaian spiritual. Meminjam kisah salah satu pemanah utama dalam epos Mahabharata, bahkan patung Guru pun bisa membuat seseorang mengalami realisasi tingkat tinggi. Atau Jetsun Milarepa di Tantra, bahkan kesalahan membunuh orang pun bisa dimurnikan melalui praktek Guru Yoga mendalam.
Tuhan sebagai Hukum
Di India pernah ada Guru yang dimintai tolong pemuda agar roh orang tuanya yang meninggal bisa bergerak naik. Dengan tersenyum Guru ini meminta pemuda tadi mengambil batu dan mentega kemudian meletakkannya di kolam. Tentu saja batunya tenggelam, menteganya mengambang di permukaan. Demikian juga dengan manusia setelah kematian. Jika yang bersangkutan berat dengan kemelekatan (harta, kekuasaan, keluarga, rasa bersalah), maka ia bergerak turun ke alam binatang, setan, neraka. Tapi bila ia ringan tanpa kemelekatan apa-apa ketika kematian, ia senantiasa di atas.
Semua ini menyisakan pesan, ada hukum yang bekerja di alam. Ia yang bisa mengenali hukum ini, membadankannya dalam keseharian, terutama tatkala kematian, maka bisa terbebaskan. Ini yang oleh sejumlah sabahat di Barat disebut sebagai God as a law(Tuhan sebagai sebuah hukum).
Permata Tubuh Manusia
Dengan meminta maaf pada para dewa, tubuh manusia adalah tubuh ideal untuk praktek spiritual. Terutama karena alam neraka, setan, binatang terlalu berat dengan penderitaan dan kebodohan. Sebaliknya alam dewa dan setengah dewa berisi terlalu banyak suka cita. Dan sebagaimana hakekat suka cita mudah lupa dengan praktek spiritual.
Dan dalam tubuh manusialah suka dan duka itu seimbang. Makanya tetua Bali menyebut manusia dewa ya kala ya. Dengan tubuh manusia ini kehidupan bisa bergerak ke bawah (kala), atau ke atas (dewa). Tapi ada pilihan ketiga, kita bisa mengalami pembebasan. Terutama karena pembebasan dekat sekali dengan keadaan seimbang sempurna, kemudian melampaui segala dualitas, termasuk dualitas lahir-mati. Di Bali Utara diberi nama Pura Penimbangan.
Makanya banyak guru mengajarkan, terlahir sebagai manusia tetapi tidak melakukan praktek spiritual, serupa dengan datang ke pulau penuh permata, tetapi ketika pulang ke rumah kematian sepasang tangannya kosong tidak membawa apa-apa. Yang celaka, tidak saja gagal membawa permata, tetapi melakukan kesalahan berbahaya (membunuh, menyakiti, mencuri dll) ketika mengenakan tubuh manusia, sehingga setelah kematian harus membayar dengan terlahir di alam neraka, setan, binatang.
Kebebasan saat Kematian
Di Tantra disimpan sejumlah ajaran rahasia yang memungkinkan manusia mengalami pembebasan di waktu kematian. Ini mirip dengan pesan Krishna ke Arjuna di Bhagavad Gita: “pikiran terakhir saat kematian, itulah yang amat menentukan perjalanan kemudian”. Ada sejumlah cara yang memungkinkan manusia terbebaskan di waktu kematian. Ada mati secara Dharmakaya, mati secara Sambhogakaya, mati secara Nirmanakaya, ada pembebasan dengan mendengarkan dan masih ada lagi yang lain. Cuman, karena sifat Tantra yang rahasia, tidak banyak yang bisa diungkapkan ke publik. Ia hanya boleh dibuka rahasianya ke murid-murid dengan kualitas bakti yang mengagumkan.
Untuk konsumsi publik, mati secara Nirmanakaya layak direnungkan. Dalam pendekatan ini, kematian menjadi saat persembahan yang paling menentukan. Ini cocok dengan orang Bali, karena baik dalam suka maupun duka orang Bali mencari perlindungan dalam persembahan. Tubuh, kata-kata, perbuatan, kekayaan (material dan spiritual) semuanya dipersembahkan. Idealnya, seseorang memiliki tubuh, kata-kata, perbuatan, serta kekayaan yang bersih dan jernih. Sehingga momen kematian menjadi momen persembahan yang sempurna. Ia seperti memberikan sesuatu yang suci dari sisi murid, sekaligus sesuatu yang indah dari segi Guru. Pertemuan antara perasaan suci di sisi penyembah, dengan aroma indah di sisi Guru, kemudian menjadi titik pembebasan yang menawan. Itu sebabnya, sedari awal penting sekali memiliki tubuh, kata-kata, pikiran dan kekayaan yang bersih dari segi niat, bersih dalam proses mencari, serta bersih dalam menggunakannya.
Sayangnya sangat sedikit manusia di zaman kali (gelap) yang bisa menjumpai kondisi ini. Kebanyakan manusia memiliki tubuh, kata-kata, pikiran dan kekayaan yang kotor. Akibatnya, di waktu kematian dikejar oleh rasa bersalah mendalam. Sehingga tidak sempat melakukan persembahan, lupa memikirkan Guru, manusia jenis ini sangat berat menggendong rasa bersalah. Keadaanya mirip dengan kambing yang menggendong beban kuda. Sesungguhnya sangat menyedihkan mati seperti ini, karena perjalanan bergerak dari pulau permata bernama tubuh manusia kemudian turun ke alam miskin secara spiritual bernama neraka, setan, binatang.
Menyadari waktu hidup manusia yang semakin pendek, sekaligus semakin banyaknya faktor yang membuat manusia cepat mati - dari kecelakaan, kriminalitas sampai penyakit yang tidak ada obatnya - maka tidak ada pilihan lain, cepat mencari Guru, belajar spiritualitas mendalam, lakukan bakti mendalam sampai bisa melihat cahaya yang tersembunyi di balik Guru.
Di Tibet pernah terjadi seorang anak muda dihinggapi rasa takut mendalam akan kematian, kemudian menjumpai Guru Tantra Padmashambawa. Setelah mencium kaki Guru, menyembah, kemudian Gurunya berpesan: “Mulai sekarang lupakan namamu, lupakan orang tuamu, lupakan desa tempat lahirmu. Ingat hanya satu, melaksanakan kasih sayang”. Dan anak muda ini mengalami pembebasan lima tahun kemudian.
Penjelasannya sederhana, kasih sayang membuat seseorang memperkecil egonya dari hari ke hari. Tatkala keakuan terkikis habis, batin jadi ringan. Kematian indah terjadi tatkala batin yang ringan berjumpa dengan persembahan menawan di waktu kematian.
Di Jepang pernah ada Guru yang cermat sekali membimbing muridnya yang tua agar matinya indah. Setiap kali meninggalkan sebuah tempat - misalnya ruang makan - renungkan dalam-dalam kalau baru saja mati di ruang makan, terlahir di taman. Begitu selesai menyapu taman, renungkan dalam-dalam mati di taman, terlahir di ruang keluarga. Dan murid ini juga mengalami kematian menawan, terutama karena batin yang ringan berjumpa persembahan menawan. Inilah mati Parama Shanti.
Bila keadaan indah ini terlalu sulit, segera persiapkan agar di kehidupan berikutnya bisa melakukan praktek spiritual mendalam. Pertama, berusaha agar lahir sebagai manusia dengan belajar seawal mungkin berperilaku sebagai manusia utama. Kedua, terlahir di keluarga yang berkecukupan agar waktu tidak habis mencari makan, terutama dengan banyak memberi. Ketiga, lahir di keluarga berkecukupan yang menghargai moralitas. Ini bisa dilakukan dengan memurnikan pikiran, kata-kata dan perbuatan setiap hari. Keempat, terlahir di waktu dan tempat di mana ada Dharma (ajaran spiritual) khususnya dengan menunjukkan rasa hormat pada ajaran-ajaran suci. Terakhir, berdoa agar berjumpa Guru. Ini bisa dilakukan dengan menghormati semua perwujudan Guru. Makanya di Tantra disebutkan, Guru adalah sumber pencapaian spiritual. Meminjam kisah salah satu pemanah utama dalam epos Mahabharata, bahkan patung Guru pun bisa membuat seseorang mengalami realisasi tingkat tinggi. Atau Jetsun Milarepa di Tantra, bahkan kesalahan membunuh orang pun bisa dimurnikan melalui praktek Guru Yoga mendalam.
Tidak ada komentar:
Write komentar