Advertisement

Jumat, 22 April 2016

caranya melakukan meditasi dengan lebih baik?

 

Tidur-kerja-makan-tidur lagi, begitulah setiap hari.

Hidup seperti apakah yang akan aku cari? Hidup yang bahagia.
Seperti apakah bahagia itu?
Apakah harus diraih dengan gelar-gelar akademis, jabatan, dan kekayaan?
Tidak perduli apakah anda kaya atau miskin, terpelajar atau tidak terpelajar, kebanyakan orang selalu menderita. Mengapa? Karena mereka berusaha mendapat kebahagiaan dengan memenuhi kebutuhan fisik saja.
Bila anda sudah terpojok, tidak ada salahnya melirik pengetahuan spiritual bangsa-bangsa Timur yang luhur.
Meditasi mengajak anda menikmati kebahagiaan yang sudah ada di dalam diri anda sendiri. Kebahagiaan itu disebut “ananda”. Anda bahagia karena punya uang, tapi dibayangi ketakutan dirampok orang. Jabatan anda tinggi, tapi tidak pernah bisa tidur tenang. Ananda adalah kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan tanpa bayang-bayang ketakutan.
Beberapa cara meditasi melibatkan pengulangan suara tertentu secara internal, dan menganjurkan kepada para pelakunya agar tidak terlalu melakukan konsentrasi. Teknik seperti itu akan menyegarkan dan membuat orang relaks, namun untuk peningkatan rohani, konsentrasi tetaplah sangat perlu – yaitu usaha intensif untuk memfokuskan pikiran pada mantra.
Terdapat perbedaan jelas antara konsentrasi dan meditasi, meskipun keduanya dalam pelaksanaannya berhubungan. Pengertian konsentrasi ialah untuk memahami dan menguasai pikiran-perasaan sehingga ia tidak lagi menanggapi dengan kacau terhadap suatu peristiwa. Latihan-latihan konsentrasi adalah suatu pendidikan kembali mengenai tekniknya pikiran-rendah, sehingga ia menurut perintahnya sang
Pribadi, dan menghentikan sifatnya yang bergerak kian kemari dan tidak menentu. Atau dengan kata lain, konsentrasi adalah sebuah upaya keras (baca: dipaksa) untuk memusatkan pada sesuatu, hal ini dianggap bukanlah bagian/tahapan meditasi.
Sedangkan tujuan meditasi ialah melatih pikiran, dalam keadaan tenang, dan beristirahat/berhenti pada pokok yang dipilih, lebih baik pada hal yang mengandung arti yang dalam dan rohaniah, sehingga pokok-caranya dapat membukakan kesadaran yang sedang bermeditasi akan arti makna yang lebih luas dan dalam.
Dalam ajaran Budha terdapat sebuah tahapan meditasi, yaitu Dharana yang berarti pemusatan perhatian tanpa paksaan. Pemusatan perhatian tidaklah berarti anda kosong. Sebagaimana namanya pemusatan perhatian, perhatian anda tertunjukkan pada sesuatu. Tidak dianjurkan bagi anda untuk berada dalam keadaan kosong seratus persen karena ini mungkin dapat membiarkan masuknya
kekuatan dari luar yang dapat mengganggu. Meditasi tingkat tinggi biasanya mengajarkan untuk memusatkan perhatian ke cakra mahkota untuk menerima lebih banyak kekuatan spiritual, atau ke antara alis mata untuk membangkitkan mata spiritual,ataupun ke cakra jantung untuk memberikan lebih banyak kekuatan kepada roh. Jadi, tidaklah kosong sama sekali.
Ada dua macam meditasi apabila dilihat dari kondisi yang dialaminya, yaitu:

• Meditasi bentuk (form meditation)

Dalam meditasi bentuk, seseorang memperhatikan sebuah obyek, hingga pikiran menjadi tenang. Bentuk obyek bisa berupa napas, sensasi kembung kempis perut, suara (seperti: pelafalan doa, mantra), visualisasi tertentu, bahkan gerakan tubuh tertentu, atau apa aja, yang bisa mengkondisikan pikiran masuk pada tingkat bawah sadar. Dalam meditasi ini tingkat gelombang otak akan menurun dan menjadi gelombang alfa atau theta. Pada keadaan pikiran ini terjadi relaksasi dan pelepas stres, selain tentu juga untuk mengembangkan potensi spiritual yang dilanjutkan dalam meditasi tanpa bentuk.
Beberapa tradisi spiritual menggunakan inner yoga untuk mengaktifkan cakra-cakra tubuh sebelum akhirnya berlatih meditasi tanpa bentuk. Tidak semua tradisi memahaminya dari sudut pandang sistem cakra seperti ini. Yang jelas, ciri utama dari meditasi bentuk adalah penggunaan konsep sebagai bagian dari obyeknya, karena itu disebut meditasi bentuk.

• Meditasi tanpa bentuk (formless meditation)

Dalam meditasi bentuk, jika ketenangan terasa semakin mendalam, antara kesadaran (subyek) dan obyek terasa menyatu dan bukan menjadi dua hal yang terpisah. Secara alami, ketenangan akan membawa seseorang memasuki meditasi tanpa bentuk. Sering disebut sebagai deep meditation, namun keadaan ini masihlah kondisional.
Dalam kondisi pikiran yang tenang ini, seorang praktisi menggunakannya sebagai sarana untuk menembus obyek. Menembus disini adalah mengamatinya “apa adanya”. Dalam bahasa lain adalah membiarkan persepsi langsung tanpa jembatan konsep. Hal ini adalah sebuah cara memandang yang benar-benar “apa adanya”, ketika seseorang mengalami setiap momen sepenuhnya.
Dua macam meditasi ini keduanya saling terkait. Bisa dipahami sebagai tahapan praktik, walaupun sebenarnya dalam meditasi tidak ada pencapaian. Pembagian istilah meditasi bentuk dan tanpa bentuk hanyalah sarana bantuan untuk penjelasan saja. Kenyataannya dalam praktik meditasi, penamaan seperti ini bisa mengganggu dan menjebak meditator dalam upaya pencapaian.
Mula-mula seseorang mempraktikkan meditasi bentuk agar pikirannya lebih stabil dalam mengamati obyek. Jika dilihat dari sudut pandang hypnotherapy, yang diinginkan dalam meditasi bentuk adalah keadaan hypnosis. Ada pandangan keliru yang menyebutkan bahwa keadaan hypnosis adalah keadaan tidak sadar atau tidur.
Hypnosis itu sendiri adalah penurunan tingkat gelombang otak, dari gelombang beta menjadi alfa atau theta. “Hypnosis adalah sebuah kondisi sadar yang didominasi pikiran bawah sadar” (Michael Preston, M.D.). “Hypnosis adalah sebuah keadaan yang ‘mengecilkan fokus perhatian” (Milton H. Erickson)
Dalam keadaan yang tenang, seseorang akan lebih mudah melihat sifat asli dari keadaan. Kerelaan untuk menerima “apa adanya” akan membuatnya tidak banyak menampilkan bentuk-bentuk pemikiran. Dalam keadaan ini, pemahaman intuitif berkembang, pengetahuan yang tanpa konsep, atau ada keheningan yang tak terkatakan karena hasrat tidak lagi berkobar. Dalam tradisi Zen ada ungkapan “knowing without knower”. Atau juga “sitting quietly doing nothing”. Banyak istilah-istilah paradok dalam guru-guru spiritual yang mengacu pada keadaan bathin seperti ini.
Perlu untuk diketahui bahwa peralihan meditasi bentuk menjadi tanpa bentuk itu berlangsung secara alami. Pemaksaan untuk melihat “apa adanya” justru akan membuat konflik dalam pikiran. Pikiran yang tenang dan diiringi melepas harapan, maka meditasi tanpa bentuk hadir secara otomatis. Seorang meditator selalu berlatih untuk mempraktikkan meditasi bukan sebagai pencapaian.
Yang menjadi pertanyaan. Bukankah tahap meditasi bentuk maupun tanpa bentuk, keduanya adalah kondisi? Jika semua itu adalah kondisi, maka bebas dari keterkondisian adalah tidak mungkin.
Di sini saya akan menjelaskan maksud dari melepas keterkondisian.
Bebas dari keterkondisian bukanlah berarti tidak mengalami kondisi. Kondisi itu selalu ada dan kondisi itu berubah dari saat ke saat. Melepas keterkondisian adalah melepas hasrat kepastian akan kondisi tertentu. Kondisi akan berjalan dan berubah sesuai dengan cara kerja alaminya. Sementara pikiran yang penuh konflik enggan memahami cara kerja alam seperti ini. Melepas keterkondisian adalah melepas dorongan konflik, yang tidak lain, adalah hasrat diri, yang muncul karena kurangnya pemahaman hidup. Melepas keterkondisian, tidak lain, adalah kesediaan hidup dalam kondisi-kondisi yang berubah.
Kenyataannya, pikiran juga bersifat fluktuatif, dalam waktu tertentu masuk dalam meditasi bentuk, pada waktu yang lain menjadi meditasi tanpa bentuk. Praktik meditasi hendaknya jangan bertujuan untuk memberi penamaan apakah sedang meditasi bentuk atau tanpa bentuk. Jika seseorang secara berat sebelah memberikan bobot kepentingan pada meditasi tanpa bentuk atau bentuk, maka benih konflik sudah di tanam. Tujuan meditasi bukan mencapai keadaan tertentu, tapi melepas keterkondisian. Yang dihadapi sebenarnya adalah nafsu keinginan yang tidak bisa memaklumi keadaan. Untuk itulah, melepas hasrat kepentingan diri sejak awal, termasuk melepaskan keinginan untuk bahagia, akan membuat praktik meditasi terasa lebih mudah.
Kini meditasi banyak diminati oleh mereka yang telah penat dengan rutinitas hidupnya. Persoalannya adalah bagaimana caranya melakukan meditasi dengan lebih baik?
Ini merupakan pertanyaan penting yang telah dicoba dijawab dalam praktek.

Perkecil Gangguan

Pergi ke gunung agar bisa meditasi dengan tenang tidak akan membantu bila anda masih membawa hp, walkie talkie untuk ikut serta. Tempat memang penting, tetapi kesiapan anda untuk tidak terganggu itu lebih penting. Bila anda hendak meditasi, maka tutup hasrat untuk berhubungan dengan semua yang di luar diri anda, lalu tutup pintu, kemudian tutup mata anda, dan lupakan segala permasalahan yang ada.
Menutup hasrat berhubungan dengan dunia luar diri anda selama meditasi memberikan efek psikologi luar biasa, sehingga anda tidak melompat begitu ada bunyi telepon. Bagi anda yang telah berkeluarga, atur semua keperluan rumah anda seperlunya agar anda tenang melakukan meditasi.
Sebaiknya anda memiliki tempat khusus untuk meditasi. Pastikan tempat anda itu kebersihan dan sirkulasi udaranya bagus. Usahakan janganlah berpindah-pindah tempat. Tentu ini bukan berarti anda tidak boleh meditasi di tempat lain. Anda bisa meditasi di mana saja mana saja, namun medan energi meditasi akan segera terbentuk, bila anda sering bermeditasi ditempat yang sama, sehingga anda akan lebih mudah mencapai ketenangan ketika memasuki ruangan tersebut.

Tetapkan Waktu Meditasi Anda

Anda dapat meditasi setiap saat, namun saat sandhya (matahari terbit dan terbenam) merupakan waktu yang terbaik. Tetapkan waktu meditasi anda, lalu umumkan kepada teman dan keluarga agar tidak menggangu pada jam tersebut. Biasanya para praktisi meditasi selalu bermeditasi pada jam-jam tertentu, maka jika waktu tersebut tiba, secara otomatis mereka akan merasakan ingin melakukan meditasi.
Meditasi setidaknya dilakukan dua kali sehari, pagi dan petang. Meditasi pada pagi hari berguna untuk memberikan semangat memulai hari. Meditasi pada malam hari memberikan rileksasi dan mengurai benang kusut pikiran untuk menjadi sulaman yang indah. Dengan demikian anda dapat tidur dengan nyenyak dan tidak diganggu mimpi buruk.
Para pemula sering kali mengalami kesulitan mengatur waktu yang tepat untuk meditasi. Periksalah rutinitas anda sehari-hari, cari waktu yang paling cocok untuk anda. Bila anda telah menetapkan waktunya, maka tegakkan disiplin. Meskipun situasi darurat, tetaplah meditasi beberapa saat. Pada awalnya memang sulit, lama kelamaan menjadi kebiasaan seperti mandi, anda mampu melakukannya tanpa perlu banyak pertimbangan.

Jangan Kekenyangan dan Tidak Pula Kelaparan

Setelah makan, anda akan merasa malas dan mengantuk. Ini disebabkan tubuh sedang memusatkan energi pada proses pencernaan. Sebaiknya anda tidak bermeditasi, karena energi yang menuju ke otak tidak maksimal. Sebaliknya bermeditasi dengan perut kosong, juga tidak juga tidak mungkin meraih konsentrasi. Sebaiknya anda mengkonsumsi makanan ringan atau minum juice buah sebelum bermeditasi.

Gunakan Postur Yang Nyaman

Sebelum meditasi, ada baiknya anda melakukan pemanasan dan peregangan untuk mengendorkan otot dan melancarkan peredaran darah. Meditasi dapat dilakukan dengan berdiri, duduk, bahkan berbaring. Namun, pastikan tulang punggung anda tegak. Bukan tegak ala militer, tapi tegak maksimal menurut anda. Ini karena akan ada aliran energi di tulang belakang yang mengarah ke atas. Postur yang tidak tegak akan menghambat aliran energi, mengganggu napas dan membuat anda mudah mengantuk. Bila anda duduk meditasi, pastikan anda duduk dengan nyaman. Hindari tempat yang tidak rata. Anda bisa gunakan karpet atau bantal kecil sebagai alas untuk membantu kenyamanan duduk anda.

Disiplin Dalam Latihan

Tidak bisa konsentrasi!! Jangan putus asa, dan jangan merasa gagal dalam meditasi. Tidak ada istilah gagal, yang ada adalah masalah jam terbang.
Ingat! Bukan hanya anda yang mengalami perasaan gagal.
Semua orang, bahkan para guru-guru besar meditasi pun, awalnya juga mengalami berbagai kesulitan yang sama dengan anda.
Pikiran kacau, rasa gatal, rasa panas-dingin, bagi para pemula adalah hal yang biasa. Menanggulanginya, anda dapat membaca mantra. Mantra yang tebaik adalah menyebut nama Tuhan menurut kepercayaan anda. Ucapkan mantra anda berulang-ulang.

Menambah Wawasan Spiritual Anda

Carilah teman atau kelompok yang juga melakukan praktek meditasi. Anda juga bisa membaca buku-buku spiritual dari orang yang berkualitas tinggi. Waktu terbaik untuk membaca adalah setelah melakukan meditasi, karena saat itu pikiran menjadi jernih dan tenang. Pengalaman mereka melewati rintangan dalam meditasi akan banyak membantu anda untuk lebih mempersiapkan diri dalam perjalanan spiritual anda.
sumber:http://mantramhindubali.blogspot.com/2012/01/caranya-melakukan-meditasi-dengan-lebih.html

Urutan Berjapa dan Meditasi Menurut Hindu


Berjapa atau meditasi dengan tujuan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta tentu ada aturan atau urutan, agar proses berjapa itu akan lebih terhayati (himat) dan penuh konsentrasi. Menurut Ketut Indrayana, berikut cara atau urutan meditasi/berjapa menurut Hindu :
ASANA
OM PRASADA STHITI SARIRA SIVA SUCI NIRMALA YA NAMAH SVAHA,
PRANAYAMA :
Puraka (Menarik nafas) OM ANG NAMAH, Kumbaka (Menahan nafas) OM UNG NAMAH, Recaka (Mengeluarkan nafas)OM MANG NAMAH,
KARA SODHANA (SARIRA SUDDHA)
Tangan Kanan OM SODDHA MAM SVAH, Tangan Kiri OM ATI SODDHA MAM SVAHA,
1. Mahāmṛtyunjaya Mantra (9X)
Oṁ trayaṁbhakaṁ yajāmahe,
sugandhiṁ puṣṭi vardhanam,
urvārukam iva bandhanāt,
mṛtyor mukṣya māmṛtāt.
2. GAYATRI PUJA ( 3X)
Om bhur bhuvah svah,
tat savitur varenyam,
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
3. GURU PUJA ( 3X )
Om guru Brahma guru Visnu
guru Deva Mahesvara,
guru shaksat Parambrahma,
tasmei shri guruve namaha
4. JAPA ( Siwa NamaSmaranam)
( 108X )
Om namah siwa ya
Om namah siwa ya
Om namah siwa ya
Om namah siwa ya
Om namah siwa ya
Om namah siwa ya
5. MEDITASI (15 Menit)
6. MANTRAM SANTI
Om asato ma sad gamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor ma amirtyam gamaya
Loka samastha sukino bhawantu
Loka samastha sukino bhawantu
Loka samastha sukino bhawantu
Om Santih, Santih, Santih Om

sumber:http://www.mediahindu.com/ajaran/urutan-berjapa-dan-meditasi-menurut-hindu.html

Bali Aga, Penduduk “Asli” Pulau Dewata

Masyarakat Bali secara garis besar memiliki budaya, adat-istiadat, dan tradisi budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Sejak Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali sekitar tahun 1343 Masehi, walau pun pada masa itu masyarakat Bali masih melakukan perlawanan kepada kekuasaan Majapahit di Bali, begitu Negarakretagama menyebutkan, bahwa Bali merupakan “negara bawahan” Majapahit. Berikut kutipannya:
…..Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah….
Berdasarkan keterangan Negarakretagama kita bisa mengetahui bahwa Pulau Bali dengan kerajaannya Badahulu pernah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Akibat dari penguasaan Majapahit atas pulau ini, dapat dirasakan sampai sekarang. Dampak yang nyata terhadap struktur masyarakat Bali oleh Majapahit saat sekarang adalah terdapatnya dua golongan besar masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat yang diperkirakan suku asli Pulau Bali dan masyarakat yang berasal dari Majapahit, keturunan Masyarakat Majapahit atau disebut wong Majapahit.
“Penduduk Desa Tenganan sebelum 1943” Foto oleh Tropenmuseum
“Penduduk Desa Tenganan sebelum 1943” Foto oleh Tropenmuseum
Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.
Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kapakisan kabarnya sering mendapat serangan dari masyarakat Bali Aga yang berada di sekitar Danau Batur. Sebagai upaya untuk meredam perlawanan tersebut akhirnya Majapahit mengirim Sri Aji Kresna Kapakisan untuk mendampingi Raja Sri Kresna Kapakisan (patih). Berkat bantuan Sri Aji Kresna Kapakisan yang berasal dari keturunan Bali, akhirnya perlawanan dari masyarakat Bali Agak dapat diredakan (mungkin karena pengaruh Sri Ari Aji Kapakisan berasal dari Bali).
Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), masyarakat Bali diperkirakan konon berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka telah tinggal secara berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing di wilayah Bali. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi beberapa desa di Pulau Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali.
Bukti peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diketemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu diantaranya berupa kapak perimbas, kapak genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejrah di bali juga berlanjut hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah nekara Pejeng.
Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur merupakan salah satu tempat berkembangnya kebudayaan dan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut beberapa pendapat, kondisi spiritual dan kepercaan masyarakat Bali pada saat itu “masih kosong”. Keadaan kosong ini dikatakan berlangsung hingga awal tarikh Masehi, bahkan kurang lebih hingga sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian konon mulai berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping mengajarkan agama Hindu, mereka juga bertujuan memajukan Bali kehidupan penduduknya. Untuk maskud tersebut kemudian datang seorang rsi ke Bali bernama Maharsi Markandeya dari India.
Pendapat di atas dapat dipastikan keliru, karena dari tinggalan benda-benda prasejarah yang banyak diketemukan di Pulau Bali, menunjukan masyarakat Bali pada masa lalu telah mengembangakn suatu sistem kepercayaan yang kompleks, jauh sebelum penanggalan Masehi dikenal, bahkan jauh sebelum “Hindu” dan India menyentuh pulau Bali. Mungkin yang dimaksud kosong di atas lebih merujuk belum beragama “Hindu-Bali”.
“Perang Pandan, Tenganan”. Foto oleh Riza Nugraha
“Perang Pandan, Tenganan”. Foto oleh Riza Nugraha
Perjalanan sejarah yang begitu panjang, terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh baru, membuat masyarakat Bali Aga semakin sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Bali wong Majapahit.
Tenganan
Menurut beberapa versi catatan sejarah dan penafsirannya, kata tenganan berasal dari kata tengah atau ngatengahan yang memiliki arti bergerak ke daerah yang lebih dalam. Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Tenganan diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui tahun 1842. Rumah adat penduduk Tenganan dibangun dari batu bata merah, batu kali, dan tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran satu orang. Ciri khas lain adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap rumah.
Trunyan
Desa lainnya yang terkenal sebagai salah satu masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan. Desa Trunyan terletak di pinggir timur Danau Batur, letaknya cukup terpencil karena hanya bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau batur. Pada zaman Kerajaan Badahulu, daerah Danau Batur terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga; bahkan pada saat Majapahit menyerang kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat gencar melakukan perlawanan.
Masyarakat Trunyan melakukan Upacara di Danau Batur, 1957”. Foto dari Tropenmuseum
Masyarakat Trunyan melakukan Upacara di Danau Batur, 1957”. Foto dari Tropenmuseum
Setelah Majapahit berhasil menundukkan raja terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di Badahulu yang baru, daerah Danau Batur terkenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali.
Pada saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat Trunyan, karena pada saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti penduduk asli Bali atau Bali pegunungan.
Penduduk Desa Trunyan meyakini bahwa mereka adalah Bali turunan, yaitu turunan leluhur orang Bali sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan. Nama Trunyan juga dapat merujuk kepada pohon Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum yang banyak di temui di wilayah desa ini.
Desa Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk setempat dalam menguburkan mayat. Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan membakar mayat, meletakkan mayat begitu saja di suatu tempat. Mayat-mayat tersebut dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk menghindari serangan binatang buas.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
sumber:http://www.wacananusantara.org/masyarakat-bali-aga/

Profil Nusa Penida



Nusa Penida terletak di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Prosesi menuju ke Pulau Nusa Penida dapat dijangkau dari Padangbai, Kusamba maupun Pantai Sanur. Untuk sampai ke Pulau Nusa Penida akan ditemui desa pertama yang mengawali rangkaian desa-desa di kecamatan Nusa Penida yaitu desa adat Dalem Setra Batununggul. Di desa ini terdapat penginapan PemdaBali. Secara histories, area yang menjadi desa adat ini, merupakan area pertama tatkala terjadi penyerbuan ke Pulau Nusa Penida dari Klungkung.
Nusa Penida, dengan dua pulau kecil lainya yaitu: Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan, akhir-akhir ini menarik perhatian, karena rasa ingin tahu lebih mendalam akan struktur masyarakat, keadaan pulau dan hal-hal lain yang ada di pulau tersebut. Rasa ingin tahu tersebut akan menambah wawasan yang sangat berharga sebagai tambahan pengetahuan. Wisata antar pulau merupakan jenis wisata yang cukup menarik di sini, karena dapat melewati laut dan menikmati pemandangan tepian pulau yang terhampar artisik dari tengah laut.
Banyak kapal wisata, misalnya kapal wisata Bounty dan Bali Hai, yang sering berkeliling di perairan Nusa Lembongan dan Ceningan, mengantarkan wisatawannya untuk menikmati wisata tirta, antara lain menyelam, memancing dan ski air. Yang dijadikan obyek wisata di sekitar kecamatan Nusa Penida umumnya adalah di daerah pesisir, dan beberapa penginapan pada daerah-daerah yang strategis sudah ada, seperti di Nusa Ceningan.
Nusa Penida menjadi terkenal dalam sejarah Bali, karena keberhasilan Dalem Gelgel menaklukan Dalem Bungkut yang berkuasa di Nusa Penida. Dalam Babad Blahbatuh diceritakan, Dalem Di Made yang memerintah kerajaan Gelgel (1600-1651) pada saat itu pernah mengutus Ki Jlantik Bogol menindas pemberontakan di Nusa Penida yang dipimpin oleh Dalem Bungkut.
Fungsi obyek wisata Pulau Nusa Penida utamanya adalah sebagai adalah sebagai tempat ibadah, dengan keberadaan Pura Ped. Di Pulau Nusa Penida akan dapat dilihat Pura Ped ini menjadi pusat perhatian Umat Hindu dan sekaligus ramai dikunjungi pada saat hari-hari suci keagamaan.
sumber: http://penidaisland.blogspot.com/2011/05/profil-nusa-penida.html

SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

 
Awal Perkembangan Agama Hindu di Bali
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) dalam (http://kodoknyitnyit.blogspot.com ) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.

2.2  Tokoh-Tokoh Penyebaran Agama Hindu di Bali
Dalam perkembangan Agama Hindu di bali terdapat enam tokoh suci yang sangat berpeerran penting. Keenam tokoh suci itu antara lain:
  1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.
Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
  1. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi tidak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
  1. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  1. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.
  3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
  1. Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua siding
  2. Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
  3. Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.  Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
  1. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
  2. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
  3. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Sekaligus dengan dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada Tri Murti menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali. Sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
  1. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
  1. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
  1. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :  Pura Purancak, Pura Rambut  Siwi, Pura Pakendungan, Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung,Pura Sakenan, Pura Air Jeruk, Pura Tugu, Pura Tengkulak, Pura Gowa Lawah, Pura Ponjok Batu, Pura Suranadi (Lombok), Pura Pangajengan,  Pura Masceti, Pura Peti Tenget, PuraAmertasari, Pura Melanting, Pura Pulaki, Pura Bukcabe, Pura Dalem Gandamayu, Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Perkembangan Agama Hindu Setelah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Di Bali Sampai Sekarang

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.
sumber:http://wwwgustidarmaputra.blogspot.com/2012/05/sejarah-perkembangan-agama-hindu-di.html

“KEPANGGLUH “ SEBUAH CERITA CINTA KASIH DARI DUNIA TAK KASAT MATA

Kejadian berikut ini adalah peristiwa nyata yang terjadi dan melibatkan puluhan orang serta disaksikan oleh ratusan orang. Walaupun ada sedikit kendala dalam menerjemahkan istilah-istilah yang digunakan, tulisan ini mencoba menggambarkan fakta yang sebenarnya.
Peristiwa ini terjadi pada hari Buda Cemeng Klawu (10 Februari 2010) di Desa Taripa sebuah desa transmigrasi angkatan 1980 (Luwu Timur – Sulawesi Selatan). Hari itu adalah piodalan di Pura Penataran Ped di Desa Taripa, sehingga warga Bali Nusa pengepon (anggota) pura mengadakan persembahyangan piodalan pada sore hari dan akan tetap berlangsung selama tiga hari hingga acara nyimpen (menyimpan peralatan piodalan). Warga Bali Nusa di Desa Taripa berjumlah sekitar 150 kepala keluarga (KK), dan hanya sekitar 40 KK yang menjadi pengepon Pura Penataran Ped. Sedikitnya jumlah pengepon ini disebabkan oleh perselisihan antara warga Nusa Lembongan dengan warga Nusa Penida di awal pendirian pura pada tahun 1985. Perselisihan ini menyebabkan hampir seluruh warga Nusa Lembongan tidak mau menjadi pengepon pura. Namun, pada saat persembahyangan piodalan, sebagian warga Bali Nusa yang bukan pengepon juga datang ke pura.
Sebagai tambahan informasi bahwa Pura Penataran Ped ini merupakan perwakilan dari Pura Penataran Ped yang ada di Pulau Nusa Penida Bali atau istilah teknologinya adalah stasiun penerima (receiver). Dimana pemancar gelombang yaitu Pura Penataran Ped di Pulau Nusa Penida merupakan pura utama yang menjadi pusat ritual orang Bali Nusa. Adapun nama “Bali Nusa” digunakan untuk menyebut penduduk yang mendiami Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, yaitu pulau-pulau kecil yang terletak disebelah tenggara Pulau Bali, serta merupakan bagian wilayah pemerintahan Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali.
Biasanya di setiap piodalan Pura Penataran Ped di Desa Taripa, Susunan Ratu Gede Mecaling pasti mesolah yaitu diadakan acara menarikan simbolis keagungan Ratu Gede Nusa yang berbentuk tapel (baca:e seperti e pada kata telur, artinya topeng yang menutupi seluruh kepala) rangda menyeramkan. Kecuali untuk kali ini rencananya tidak mesolah, alasannya untuk menjaga wibawa Susunan Ratu Gede Mecaling. Hasil sangkep (rapat) pura menyatakan, walaupun selama ini selalu ada peserta persembahyangan yang kerauhan (kesurupan karena dirasuki ruh) saat susunan mesolah, tetapi jika setiap piodalan susunan mesolah, ditakutkan tidak ada lagi orang yang kerauhan yang berarti simbolis keagungan sudah tidak berwibawa. Jadi, mesolah untuk piodalan direncanakan selang satu kali mesolah dan satu kali tidak. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Beberapa saat sebelum persembahyangan berakhir, seorang ibu mendadak tersungkur, lalu bangkit dan berteriak histeris, “Susunan pang mesolah jani!” (harus menarikan susunan sekarang).
Masyarakat Bali Nusa yang mengerti hal seperti ini menyimpulkan bahwa ibu tersebut sedang kerauhan, maka pemangku (pendeta) segera memercik tirta. Biasanya setelah dipercikkan tirta, orang kerauhan pasti siuman. Tapi kali ini ceritanya lain. Sang ibu tetap berteriak, hingga memaksa beberapa warga mengangkatnya keluar jeroan (area persembahyangan) pura agar tidak mengganggu persembahyangan. Tetapi setelah ibu ini berada di jaba (area luar) pura, orang-orang yang kerauhan bertambah banyak hingga puluhan orang. Sampai akhirnya terjadi kerauhan massal atau dalam istilah Bali Nusa disebut kepangluh. Suatu kejadian yang menurut cerita orang-orang tua adalah kejadian yang biasa terjadi di masa lalu saat persembahyangan piodalan di pura-pura Bali Nusa. Berdasarkan keyakinan masyarakat Bali Nusa, mereka yang kerauhan beberapa diantaranya sesungguhnya sedang dirasuki ruh Betara (baca:betare) dari pura-pura Bali Nusa dan yang lainnya dirasuki oleh ruh Buta Kala yang menjadi pengiring kedatangan Betara.
Kejadian ini biasa? Ya. Jika ini terjadi di masa lalu. Namun, kali ini terjadi di era teknologi dimana mereka yang terlibat dan menyaksikan sebagian besar terbiasa menonton tayangan gosip televisi, bahkan hampir semua orang yang datang sembahyang ke pura membawa handphone sehingga saat sembahyang diselingi dengan meng-update status facebook. Mereka yang kerauhan sebagian besar adalah pelajar SMP, SMA, bahkan ada juga mahasiwa perguruan tinggi yang kebetulan pulang kampung. Orang yang kerauhan ini kebanyakan bukan pengepon pura yaitu warga Bali Nusa yang sembahyang ke Pura Penataran Ped hanya saat piodalan. Mereka yang kerauhan sebagian hanya menangis atau tertawa, tetapi ada beberapa diantaranya memerankan Betara dari pura-pura Pulau Nusa.
Dua orang diduga kerauhan Betara Pura Penataran Ped Bali. Salah satunya adalah gadis remaja kelas 2 SMP, ia berkarakter santun berkata dengan bahasa Bali bahkan bahasa Bali kuno, bahasa yang tidak sesuai untuk seorang anak yang lahir dan besar di Sulawesi. Ada juga anak yang diduga kerauhan Betara Bongol (betara tuli) yang menurut keyakinan masyarakat Bali Nusa juga bersemayam di Pura Penataran Ped Bali, ia ingin berbicara tetapi sama sekali tidak keluar suara layaknya orang bisu. Seorang anak perempuan lagi yang juga masih sekolah SMP diduga kerauhan Betara Sekar Kuning dari Pura Sekar Kuning yang juga ada di pulau Nusa Penida Bali. Dia bicara dengan santun kepada orang-orang layaknya seorang ratu kepada bawahannya, juga dalam bahasa ‘aneh’ walaupun sesekali bercampur bahasa keseharian (bahasa Indonesia).
Misalnya ‘Betara Sekar Kuning’ ini berkata, “Nire joh-joh dateng saking Sekar Kuning. Nire sedih, panjak nire ten bersatu” (Saya jauh-jauh datang dari sekar kuning. Saya sedih rakyat saya tidak bersatu)
Ada juga seorang bapak yang ikut kerauhan. Dia kerauhan sosok sentral dalam keyakinan Bali Nusa yaitu Ida Betara Ratu Gede Nusa. Karakternya cukup unik sehingga mudah dikenal oleh orang-orang tua yang sudah pernah menyaksikan kejadian serupa waktu masih tinggal di pulau nusa. Menurut cerita pengalaman di masa lalu, biasanya orang yang kerauhan Ratu Gede Nusa adalah orang yang bertubuh tinggi besar dengan karakter yang gagah dan cukup seram. Tetapi, sayangnya bapak yang kerauhan kali ini bertubuh kecil dan kurus, sehingga karakter berwibawanya seperti dipaksakan. Sesekali ia berjalan dengan langkah tegap kesana kemari, mendengus-dengus seperti nafas babi hutan, kemudian berteriak dengan garang.
Dia berkata dalam bahasa Bali Nusa, “Aleh onya hanak nusa pang kepura. Nusa gede, nusa lembongan, nusa ceningan pokokne hunya pang kepura. Yen ndok nyak eret doang!” (Cari semua orang Bali Nusa untuk datang kepura. Orang Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, intinya semua harus kepura. Seret saja kalau dia tidak mau!). ‘Ratu Gede Nusa’ melanjutkan, “Yen onden hunya hanak nusa ke pura, kula seng nyak mesolah” (Kalau belum berkumpul semua orang Bali Nusa, saya tidak mau menari).
Himbauan seperti ini dia ulang berkali-kali, hal yang sama juga diucapkan dengan bahasa campuran oleh anak-anak yang kerauhan Betara. Sehingga orang-orang yang tidak kerauhan berhamburan untuk mencari sanak keluarga yang masih di rumah. Malam itu di Desa Taripa yang biasanya sepi, mendadak riuh oleh suara motor menderu-deru kesana kemari mencari warga Nusa untuk diajak sembahyang ke Pura Penataran Ped. Antusias warga ini karena menurut kepercayaan dan kebiasaan di masa lalu bahwa jika permintaan orang kerauhan tidak dituruti, mereka yang kerauhan tidak akan siuman. Hal ini juga mengindikasikan sesungguhnya warga dapat mempercayai bahwa yang berbicara melalui tubuh mereka yang kerauhan adalah Betara dari Pura Bali Nusa yang merupakan pelindung penduduk Bali Nusa.
Hampir semua warga Bali Nusa termasuk yang bukan pengepon pura, datang ke Pura Penataran Ped. Sehingga pada malam itu area Pura Penataran Ped yang hanya 25 are, penuh oleh warga yang sudah berpakaian sembahyang lengkap. Sebagian mereka langsung menuju jeroan untuk sembahyang, sebagian lagi terhenyak menyaksikan tindakan orang-orang yang kerauhan.
‘Betara’ juga beberapa kali mengingatkan untuk memberikan banten segehan (sesajen untuk Buta Kala) di hadapan mereka, karena katanya para Buta Kala pengiring mereka membutuhkan persembahan tersebut. Berkali-kali juga mereka yang kerauhan bergantian mengeluh lelah. Katanya, “Nira lepeh!” (saya capek). Jika sudah demikian mereka minta istirahat duduk dan kadang siuman, tetapi hanya setengah sadar dan mereka diam termangu. Beberapa juga yang minta dipijat, “Pecikan batis nira!” (pijat kakiku). Sebagian warga menganggap perintah itu untuk menguji kepercayaan dan kesetiaan mereka kepada Betara. Beberapa pemangku juga dapat berkomunikasi dengan mereka yang kerauhan, termasuk menyampaikan pertanyaan dan argumentasi. Setelah hampir tengah malam dan sebagian besar warga Bali Nusa sudah hadir di pura, seorang pemangku melaporkan kepada yang kerauhan. Katanya dalam bahasa Bali Kuno yang kira-kira artinya, “Maaf Betara, sekarang warga Bali Nusa sudah berkumpul. Apa ada yang akan disampaikan ataukah sudah boleh mesolah?”
“Belum. Belum boleh mesolah. Karena ada 3 orang yang belum datang dan mereka adalah tameng-tameng yang menyebabkan perpecahan warga disini.” Jawab seorang siswa SMP juga dalam bahasa Bali Kuno, ia yang diduga kerauhan Betara Pura Penataran Ped. Penyampaian ini diikuti oleh kerauhan lain dan menyebutkan ketiga nama warga yang dimaksud. Para Pemangku yang mengetahui permasalahan dan menganggap ketiga orang itu tidak akan datang, berusaha menyampaikan alasan bahwa ketiganya sedang sakit dan berobat keluar jadi tidak bisa hadir.
Tepat tengah malam, Susunan Ratu Gede Nusa mesolah. Saat mesolah jumlah mereka yang kerauhan berlipat. Walaupun demikian, puluhan orang itu hanya menari dengan gembira sepanjang acara mesolah yaitu sekitar 1 jam lamanya. Setelah mesolah berakhir, sebagian besar yang kerauhan siuman, kecuali mereka yang memerankan Betara semuanya tetap begadang sampai pagi. Kadang mereka siuman sesaat, tetapi kemudian lanjut lagi kerauhannya dengan menyampaikan berbagai nasehat mengenai pentingnya persaudaraan, persatuan dan perintah tentang kewajiban-kewajiban warga Bali Nusa di Desa taripa. Contoh kewajiban yang dimaksud adalah warga Bali Nusa wajib memberikan sesajen di beberapa tempat di area pekarangan rumah setelah selesai memasak, karena menurut ‘Betara’ para Buta Kala membutuhkannya.
Setelah persembahyangan pagi hari, semua kerauhan siuman. Tetapi, beberapa diantaranya kembali kerauhan saat melakukan aktifitas kesehariannya. Seorang siswa SMP kerauhan saat mengikuti pelajaran di sekolah sehingga terpaksa diantar ke pura oleh guru dan orang tua. Ada juga yang kerauhan saat menonton televisi di rumah, serta ada yang kerauhan saat bermain dengan teman-temannya. Hal demikian terjadi selama 3 hari setelah piodalan, hingga terakhir saat acara nyimpen.
Kejadian ini mengubah suasana desa menjadi lebih religius. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya warga Bali Nusa yang masuk menjadi pengepon Pura Penataran Ped. Selain itu, kegiatan persembahyang purnama dan tilem juga diikuti warga Hindu dengan antusias, baik di Pura Desa ataupun di Pura Penataran Ped.
Sedangkan pemahaman warga Bali Nusa di Desa Taripa setelah kejadian ini cukup beragam. Ada yang merasa takut dan ngeri, tetapi tidak sedikit yang terharu bahagia karena merasa Ida Betara Nusa tetap memperhatikan mereka yang jauh di tanah rantau. Disisi lain warga Bali Nusa yang memiliki pemahaman mendalam justru merasa sedih atas kejadian ini. Sedih menyaksikan anak-anak yang kerauhan yang mungkin terganggu perkembangannya secara psikologi, juga sedih merasakan betapa berat perjuangan Ida Betara untuk menyampaikan pesan cintanya kepada mereka. Jika dimasa lalu Betara mudah untuk berkomunikasi dengan manusia, namun berbeda dengan saat ini. Hal ini terlihat dari betapa susah Betara mencari tubuh yang memenuhi syarat untuk dapat dirasuki dan dijadikan sarana komunikasi dengan manusia. Sehingga Betara terpaksa merasuki anak-anak bahkan gadis remaja yang hal demikian itu tidak pernah terjadi di masa lalu.
Pikiran manusia sekarang dipenuhi oleh berbagai masalah, baik masalah sendiri ataupun masalah orang lain yang mempengaruhi melalui tayangan televisi. Hal ini membuat manusia menjadi semakin jauh dengan Betara. Perjuangan Betara bertambah sulit lagi, ketika ada hujatan dari rakyatnya sendiri yang mengatakan semua pesan cintanya itu bukan dari Betara melainkan hasutan setan. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa “setan” hanyalah nama yang biasanya digunakan untuk dijadikan ‘kambing hitam’ kejahatan manusia. Serta perlu diperhatikan bahwa pengertian tentang “Betara” dan “Buta Kala” disini tidak dapat disejajarkan dengan pengertian “Malaikat” dan “Setan” apalagi disandingkan dengan pengertian tentang “Jin” dan “Iblis”. Karena dalam kepercayaan tentang Betara dan Buta Kala, kita dapat melihat adanya cinta kasih antar sesama mahluk Tuhan.
Semoga pemaparan ini menambah informasi tentang ajaran Hindu, kebudayaan Bali dan khususnya keyakinan masyarakat Bali Nusa. Tulisan ini diuraikan berdasarkan kejadian sesungguhnya yang dijelaskan oleh pemuka masyarakat Bali Nusa di Desa Taripa dan dari kesaksian beberapa sahabat yang melihat langsung. Sedangkan untuk penjelasan dan pembahasan terhadap peristiwa yang terjadi baik yang sekarang ataupun perbandingan dengan kejadian di masa lalu di Pulau Nusa, sebagian besar bersumber dari uraian Bapak I Wayan Suratha, seorang warga Bali Nusa yang bertugas nyolahin (menarikan) tapel Susunan Ratu Gede Nusa di Pura Penataran Ped Desa Taripa.
(Penulis adalah administrator website Hindu BanjarSorowako.com dan saat ini bekerja sebagai guru komputer di SD YPS Lawewu, Sorowako, Luwu Timur, Sul-Sel)

Sejarah Banten(Sesajen) di Bali

Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang). Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro. Lama-lama ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.
Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan. Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.
Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”. Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.
Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:
  • Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.
  • Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.
  • Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.
  • Sebagai alat pensucian.
  • Sebagai pengganti mantra.
Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan. Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).
Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi. Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.
Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.
“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.
Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.
Makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Zaman beredar dan kini kita hidup di zaman millennium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah, antar lain:
Kelangkaan bahan-bahan baku banten.Waktu yang terbatas untuk membuat banten.Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri.Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten sudah kita maklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur, bebek, dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali antara lain: Sulawesi, Lombok, dan Jawa.
Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya “nunas puput”. Generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual/ upacara menjadi sangat sulit dan mahal.
“Model” umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti: sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten pada Sang Yajamana hilang.
Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di atas, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten. Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan?
Fenomena seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak.
Konsep-konsep Manawadharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami/ istri banyak tidak berlaku lagi. Suami mestinya menghidupi keluarga, dan Istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah Panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten.
Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
  1. Dalam banyak kitab suci antara lain: Manawadharmasastra, Parasaradharmasastra, dll. disebutkan bahwa cara kita beragama di setiap zaman tidaklah sama. Di zaman Kali seperti sekarang ini, cara kita beragama mestinya lebih menekankan pada pencurahan kasih sayang kepada sesama manusia misalnya dalam bentuk dana punia.
  2. Namun demikian tidak berarti bahwa kegiatan ritual keagaman dalam bentuk upacara-upacara yadnya diabaikan. Upacara itu tetap dilaksanakan namun para Sulinggih diharap memberikan dharmawacana agar sang yajamana mengerti dengan makna upacara yadnya yang diselenggarakannya.
  3. Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan waktu yang luang.
  4. Apabila terpaksa membeli banten, belilah dari orang yang diyakini memenuhi syarat sebagai tukang banten.
  5. Para tukang banten hendaknya turut memikirkan dan mengupayakan bagaimana caranya agar umat kita tidak terlalu mahal membeli banten, lebih-lebih jika diingat bahwa tukang banten adalah kelompok orang yang disucikan dan dengan demikian diharapkan sudah mampu menguasai “Sad-ripu” yang ada dalam dirinya sendiri.
Banten yang dikategorikan dalam kelompok:
  • Alit
  • Madya
  • Ageng
Hendaknya dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, dengan menekankan bahwa banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang madya-utama, demikian sebaliknya, karena hakekat banten adalah curahan rasa bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi. Janganlah sampai umat kita menghadapi kesulitan atau menjadi miskin karena melaksanakan upacara yadnya secara keliru, yaitu membeli banten melebihi batas kemampuan finansialnya yang nyata.
Sumber: Bhagawan Dwija.

WANA DREAM

Wana Videos